google.com, pub-8027005344017676, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Karier Militer Untung Syamsuri 7


Sambungan dari Karier Militer Untung Syamsuri 6

Jaringan Letkol Untung dengan Batalyon 454 mulai dibangunnya sejak 1954. Saat peristiwa G30S dilancarkan, Batalyon 454 dipimpin oleh Mayor Kuntjoro Judowidjojo yang menjadi wakil komandan batalyon 454, saat Letkol Untung menjabat sebagai Komandan di batalyon yang sama. Hubungan Untung dan Komandan Brigade I Kodam Jaya, Kolonel A. Latief berawal dari batalyon 454 juga. Pada tahun 1963, ketika itu Latief belum di pindah ke Jakarta adalah bagian dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (TJADUAD) yang bermarkas di Ungaran dekat dengan markas Batalyon 454.

Karier Militer Untung Syamsuri 6

Sambungan dari Karier Militer Untung Syamsuri 5

Sebagai Rezimen khusus, Tjakrabirawa diadakan sebagai satuan militer yang memiliki kualifikasi setara dengan kesatuan komando. Sangat sulit bagi prajurit ABRI untuk dapat lolos seleksi dan dapat bergabung dengan Tjakrabirawa. Dan hal ini telah diceritakan oleh Boengkoes, seorang komandan peleton berpangkat Sersan Mayor saat diwawancarai oleh Ben Anderson dan Arief Djati (Indonesia hal. 78, Oktober 2004).

Rezimen khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan prajurit yang berprestasi yang berhasil lolos seleksi dari serangkaian tes kualifikasi berat. Sangat ketat dan disiplin tinggi dalam tes ujian seleksi masuk menjadi anggota Tjakrabirawa ini dapat dilihat dari data bahwa, hanya 3 sampai 4 orang saja yang dapat lolos seleksi dari satu batalyon yang tergolong Raider atau Paratrooper atau Airborne yang mendapat undangan untuk dapat lolos seleksi.

Karier Militer Untung Syamsuri 5


Samungan dari  Karier Militer Untung Syamsuri 4

Mereka lebih mendengarkan omongan Sjam Kamaruzzaman, "" Jika mau revolusi, ketika masih muda. Jangan tunggu hingga tua, dan ketika awal revolusi banyak yang takut, dan setelah revolusi berhasil, semuanya akan ikut". Kecerobohan Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan tersebut, akhirnya hancur. Dokmen Supardjo dianggap lebih masuk akal dan terpercaya, karena sangat memperlihatkan kelemahan Gerakan 30 September 1965 yang tidak adanya satu komando yang jelas dan tegas. Karena komando tersebut dianggap terpecah menjadi dua, ada yang murni dari kalangan militer seperti Untung, Latief dan Sudjono. Dan dari Biro Chusus yaitu Sjam, Pono dan Bono.

Karier Militer Untung Syamsuri 4


Sambungan dari Karier Militer Untung Syamsuri 3

Pada 6 Juni 1962, saat awal mula pasukan Tjakrabirawa di bentuk, terdapat satu batalyon Angkatan Darat, dan sejak bulan Mei 1965, pasukan tersebut di pimpin oleh Letkol Untung Syamsuri. Untung terpilih sebagai pemimpin pasukan Tjakrabirawa dikarenakan dirinya memiliki keberanian saat mendapat tugas operasi Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) dan berhasil mendapatkan bintang Sakti kehormatan. Dan saat Tjakrabirawa di bentuk, Kapten Rochadi yang awalnya mengajak Untung Syamsuri untuk bergabung dalam pasukan pengaman presiden tersebut.

Kapten Rochadi adalah salah satu dari anggota Tjakrabirawa yang turut serta dalam delegasi Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak saat itu tak dapat kembali ke tanah air akibat situasi politik. Terakhir kali terdengar berita bahwa Kapten Rochadi memperoleh suaka dari pemerintah Swedia dan mengganti namanya menjadi Rafiuddin Umar. Kapten Rochadi termasuk orang-orang yang tidak dapat pulang ke tanah air akibat situasi politik saat itu dan di Swedia, ia menjadi orang yang tertutup. Kapten Rochadi juga berasal dari batalyon yang dipimpin oleh Letkol Untung Syamsuri. di Kodam Diponegoro.

Ben Anderson kemudian memulai analisanya dengan mengutarakan karakter JAWA pada Divisi Diponegoro yang sejak awal hingga meletus tragedi 1965, Panglima Kodam nya selalu berasal dari Yogya-Banyumas-Kedu. Kenapa yang menjadi Panglima Kodam Diponegoro bukan orang Batak atau Minahasa, seperti Kodam Siliwangi.

Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang penduduknya sangat banyak, bahan pangan tidak seimbang dan berpaham komunis serta sentimen ani-aristokrat-nya cukup kuat. Ketidak puasan ini timbul dikalangan para perwira-perwira Diponegoro, misalnya Kolonel Marjono, Kolonel Suherman dan Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto. Di Jakarta terdapat Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Perwira tinggi yang hidupnya tergolong mewah diantara rakyat dan tentara yang mayoritas tergolong miskin.

4 Agustus 1965, Presiden Soekarno mengalami stroke ringan, beredarnya GILCHRIST dan isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta pada hari TNI, 5 Oktober 1965 menyebabkan suasana politik Indonesia menjadi kian memanas. Untung Syamsuri selaku komandan batalyon Tjakrabirawa yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap keselamatan presiden merasa terpanggil untuk menyelamatkan Presiden Soekarno dari ancaman Dewan Jenderal yang hendak menumbangkan pemerintahan Soekarno yang sah. Sebelum agenda Dewan Jenderal dilakukan, Untung mendahului melalui Gerakan 30 September.

Meskipun Untung sebagai komandan gerakan tersebut, namun pada kenyataan di lapangan, Untung mendapat perintah. Jadi Untung bukanlah pemimpin utama gerakan ini. Karena sepak terjang gerakan itu, ditentukan terlebih dahulu oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI yang ada di dalam tubuh TNI saat itu. Saat persiapan seperti tank, senjata, logistik dan personel belum seluruhnya memadai, Untung langsung gegabah bergerak.

Bersambung, Karier Militer Untung Syamsuri 5

Karier Militer Untung Syamsuri 3


Sambungan dari Karier Militer Untung Syamsuri 2

Mahkamah dalam persdangan tersebut berpendapat bahwa, Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno tesebut adalah informasi yang sumbernya berasal dari Sjam Kamaruzzaman dan Pono selaku utusan dari Ketua Comite Central Dipa Nusantara Aidit, yang terbukti kebenarannya.

Karier Militer Untung Syamsuri 2


Sambungan dari Karier Militer Untung Syamsuri 1

Bagi Rudhito, keempat orang tersebut ingin agar dirinya turut serta melaksanakan apa yang telah direncanakan oleh Dewan Jenderal. Mereka berani mengajak, karena merasa menjadi Ketua Umum Ormas Central Comando Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerombolan Jenderal tersebut hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno, seperti yang digunakan oleh negara-negara lain. Mereka ingin menggulingkan Soekarno dan mengambil alih kekuasaan. Mirip seperti matinya Shigman Ree, presiden Republik Korea Selatan.

Karier Militer Untung Syamsuri 1

Pada sebuah hari Rabu Legi, 23 Februari 1966, kurang lebih sekitar pukul 09.00 WIB, bertempat di Jalan Taman Suropati No. 2, lantai 2. Pada hari itu, di gelar sidang Mahkamah Militer Luar Biasa, atas terdakwa Untung Syamsuri, 40 tahun mantan Ketua Dewan Revolusi Indonesia, dengan tuduhan makar !...

Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 4


HALAMAN 1
HALAMAN 2
HALAMAN 3

"Saya mengarahkan senjata dan dor.....". Penembak itu adalah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Sersan Mayor adalah pangkat terakhirnya sebelum ia mendekam selama 33 tahun di LP. Cipinang, Jakarta. Menurut anak kedua Boengkoes yang bernama Hernawati, ayaknya sudah tak berdaya selama enam bulan akibat serangan stroke. Ia mengalami kesulitan berbicara dan sepasang kaki dan tangannya separuh lumpuh. Boengkoes terbaring lemah di rumah anak ke empatnya, Juwartinah yang bersebelahan dengan rumah Hernawati di Jalan PG Demaas, Kalak, Kec. Besuki Situbondo Jawa Timur.

Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 3


HALAMAN 1
HALAMAN 2
Saat mengemban tugas di Cadangan Umum inilah, Boengkoes terpilih untuk menjadi bagian dari Banteng Raiders I di Magelang. Tak berselang lama, ia pun direkrut dan bergabung bersama pasukan Tjakrabirawa. Menurut pengakuan Boengkoes kepada Ben, meskipun Boengkoes sudah bersama Untung di Banteng Raiders, tetapi mereka baru bisa bertemu ketika sudah berada di Jakarta. "Saya belum kenal Untung, waktu di Srondol", kata Boengkoes.

Meski Boengkoes menderita disentri dan wasir, tetapi tidak membuatnya kesulitan saat mendaftar jadi Tjakrabirawa. Meski penyakitnya tersebut sudah disampaikannya, tetapi esoknya Boengkoes malah dikabari bahwa dirinya sehat. Hal yang membahagiakan Boengkoes saat itu adalah ada ratusan personel Banteng Raiders yang lolos seleksi. Jumlah mereka dari Jawa Tengah, yang lolos seleksi adalah yang terbesar dan cukup untuk membentuk satuan kompi. Tugas utama mereka adalah berjaga di istana kepresidenan, menggantikan Polisi Militer yang sudah ada sebelumnya.

Boengkoes pun mengatakan kepada Ben Anderson bahwa Doel Arief adalah teman sehidup semati. Mereka sering ngobrol dalam bahasa daerah Madura. Menurut cerita Boengkoes, dahulu kala ia bersama Doel Arief pernah menyusuri pasar senen Jakarta dan terdapat sebuah warung es cendol asal Pasuruan yang terdapat dua gadis cantik membantu pedagang disana.

"Kami duduk berbincang dan membicarakan kedua gadis tersebut menggunakan bahasa Madura. Tiba-tiba mereka tersenyum karena mengerti apa yang mereka bicarakan. Ternyata pedagang cendol tersebut ternyata mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur. Wah, mati aku", ujar Boengkoes.

Keanehan setelah peristiwa berdarah 30 September 1965 masih menyisakan misteri hingga hari ini. Setelah kejadian itu, Doel Arief dan Djahurup hilang tak berbekas. Heru mengatakan bahwa setelah terjadinya malam berdarah tersebut, sejumlah 60 personel anggota Batalyon I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa melarikan diri ke Jawa Tengah.

Batalyon yang melarikan tersebut dihadang pasukan CPM saat tiba di Cirebon. Menurut Wakil komandan Rezimen Tjakrabirawa Maulwi Saelan, awalnya mereka sengaja singgah ke asrama TNI Cirebon dikarenakan tidak membawa perbekalan makanan. Atas laporan salah seorang prajurit yang saat itu berada diasrama tersebut, Maulwi Saelan memerintahkan untuk menahan mereka terlebih dahulu. "Saya perintahkan mereka untuk ditahan dahulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput mereka".


Akan tetapi, Doel Arief dan Djahurup lenyap hilang tak berbekas. Selanjutnya, dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa yang digelar pada tahun 1966, hanya Kopral Hardiono selaku bawahan Doel Arief sajalah yang dihadirkan dan dituduh bertanggung awab atas penculikan para jenderal itu.

Doel Arief dan Djahurup yang tidak bisa dhadirkan dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa tersebut, menuai banyak tanya. Apakah mereka berdua disembunyikan oleh Ali Moertopo ?..... Entahlah, jawab Heru Atmodjo.

BERSAMBUNG KE HALAMAN 4

Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 2

HALAMAN 2

Menurut Ben Anderson, makalah ini semakin melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Setahun setelah peristiwa berdaran 1965, bersama Ruth Mc Vevy dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Ketika itu, Ben mengira bahwa yang terlibat dalam peristiwa tersebut kesemuanya bukan orang-orang dari suku Jawa. Hampir kesemua prajurit Tjakrabirawa yang terlibat dalam peristiwa tersebut adalah orang-orang berdarah Madura, termasuk pimpinan yang memberi perintah juga berdarah Madura.

Doel Arief selaku pimpinan pasukan atas terjadinya insiden penculikan dan pembunuhan pada hari Kamis, 30 September 1965 tersebut adalah juga berdarah Madura. Tak hanya itu, Doel Arief juga orang yang dekat dengan Ali Moertopo, intelejen Soeharto. Doel Arief dan Ali Moertopo saling mengenal ketika masih di Banteng Raiders, yaitu pada tahun 1950-an ketika mereka sama-sama berperang menumpas Darul Islam di Jawa Tengah pimpinan Kartosuwiryo.

Tentang kedekatan antara Doel Arief dan Ali Moertopo juga dibenarkan oleh Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo. Letkol Heru Atmodjo inipun juga berdarah Madura dan di ikut sertakan dalam Dewan Revolusi. Doel Arief itu adalah anak angkat dari Ali Moertopo, kata Heru Atmodjo menjelaskan.