google.com, pub-8027005344017676, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 3


HALAMAN 1
HALAMAN 2
Saat mengemban tugas di Cadangan Umum inilah, Boengkoes terpilih untuk menjadi bagian dari Banteng Raiders I di Magelang. Tak berselang lama, ia pun direkrut dan bergabung bersama pasukan Tjakrabirawa. Menurut pengakuan Boengkoes kepada Ben, meskipun Boengkoes sudah bersama Untung di Banteng Raiders, tetapi mereka baru bisa bertemu ketika sudah berada di Jakarta. "Saya belum kenal Untung, waktu di Srondol", kata Boengkoes.

Meski Boengkoes menderita disentri dan wasir, tetapi tidak membuatnya kesulitan saat mendaftar jadi Tjakrabirawa. Meski penyakitnya tersebut sudah disampaikannya, tetapi esoknya Boengkoes malah dikabari bahwa dirinya sehat. Hal yang membahagiakan Boengkoes saat itu adalah ada ratusan personel Banteng Raiders yang lolos seleksi. Jumlah mereka dari Jawa Tengah, yang lolos seleksi adalah yang terbesar dan cukup untuk membentuk satuan kompi. Tugas utama mereka adalah berjaga di istana kepresidenan, menggantikan Polisi Militer yang sudah ada sebelumnya.

Boengkoes pun mengatakan kepada Ben Anderson bahwa Doel Arief adalah teman sehidup semati. Mereka sering ngobrol dalam bahasa daerah Madura. Menurut cerita Boengkoes, dahulu kala ia bersama Doel Arief pernah menyusuri pasar senen Jakarta dan terdapat sebuah warung es cendol asal Pasuruan yang terdapat dua gadis cantik membantu pedagang disana.

"Kami duduk berbincang dan membicarakan kedua gadis tersebut menggunakan bahasa Madura. Tiba-tiba mereka tersenyum karena mengerti apa yang mereka bicarakan. Ternyata pedagang cendol tersebut ternyata mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur. Wah, mati aku", ujar Boengkoes.

Keanehan setelah peristiwa berdarah 30 September 1965 masih menyisakan misteri hingga hari ini. Setelah kejadian itu, Doel Arief dan Djahurup hilang tak berbekas. Heru mengatakan bahwa setelah terjadinya malam berdarah tersebut, sejumlah 60 personel anggota Batalyon I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa melarikan diri ke Jawa Tengah.

Batalyon yang melarikan tersebut dihadang pasukan CPM saat tiba di Cirebon. Menurut Wakil komandan Rezimen Tjakrabirawa Maulwi Saelan, awalnya mereka sengaja singgah ke asrama TNI Cirebon dikarenakan tidak membawa perbekalan makanan. Atas laporan salah seorang prajurit yang saat itu berada diasrama tersebut, Maulwi Saelan memerintahkan untuk menahan mereka terlebih dahulu. "Saya perintahkan mereka untuk ditahan dahulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput mereka".


Akan tetapi, Doel Arief dan Djahurup lenyap hilang tak berbekas. Selanjutnya, dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa yang digelar pada tahun 1966, hanya Kopral Hardiono selaku bawahan Doel Arief sajalah yang dihadirkan dan dituduh bertanggung awab atas penculikan para jenderal itu.

Doel Arief dan Djahurup yang tidak bisa dhadirkan dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa tersebut, menuai banyak tanya. Apakah mereka berdua disembunyikan oleh Ali Moertopo ?..... Entahlah, jawab Heru Atmodjo.

BERSAMBUNG KE HALAMAN 4

0 komentar:

Posting Komentar

Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]