HALAMAN 2
Menurut Ben Anderson, makalah ini semakin melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Setahun setelah peristiwa berdaran 1965, bersama Ruth Mc Vevy dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper.
Ketika itu, Ben mengira bahwa yang terlibat dalam peristiwa tersebut
kesemuanya bukan orang-orang dari suku Jawa. Hampir kesemua prajurit Tjakrabirawa yang terlibat dalam peristiwa tersebut adalah orang-orang berdarah Madura, termasuk pimpinan yang memberi perintah juga berdarah Madura.
Doel Arief
selaku pimpinan pasukan atas terjadinya insiden penculikan dan
pembunuhan pada hari Kamis, 30 September 1965 tersebut adalah juga
berdarah Madura. Tak hanya itu, Doel Arief juga orang yang dekat dengan Ali Moertopo, intelejen Soeharto. Doel Arief dan Ali Moertopo saling mengenal ketika masih di Banteng Raiders, yaitu pada tahun 1950-an ketika mereka sama-sama berperang menumpas Darul Islam di Jawa Tengah pimpinan Kartosuwiryo.
Tentang kedekatan antara Doel Arief dan Ali Moertopo juga dibenarkan oleh Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo. Letkol Heru Atmodjo inipun juga berdarah Madura dan di ikut sertakan dalam Dewan Revolusi. Doel Arief itu adalah anak angkat dari Ali Moertopo, kata Heru Atmodjo menjelaskan.
Disebutkan pula dalam makalah tulisan Ben Anderson bahwa, selain tersebut diatas ada pula anggota Tjakrabirawa
lain yang di ikutkan adalah Djahurup. Nama Djahurup menurut keterangan
Letnan Kolonel CPM (Purnawirawan) Suhardi adalah orang yang ingin
menerobos istana kepresidenan pada 29 September, tetapi berhasil di
hadangnya.
Ben Anderson mendapatkan bukti-bukti keterkaitan antara Boengkoes dan Doel Arief
telah dekat sejak tahun 1947 yang lalu. Ketika itu, mereka bersama-sama
dalam batalyon Andjing Laut di Bondowoso. Karier militer Boengkoes
berawal pada 1945, dari awal dirinya mulai bergabung dalam batalyon
Semut Merah di TKR (Tentara Keamanan Rakjat) di Situbondo.
Juli 1947, setelah serdadu Belanda berhasil menghancurkan batalyon Semut Merah, Boengkoes
bergabung dengan batalyon Andjing Laut di Bondowoso dan berpangkat
Pratu (Prajurit Satu). Sebagian besar prajurit Andjing Laut adalah
penduduk Bondowoso yang masih memiliki darah keturunan Madura.
Ketika pecah clash yang kedua dengan serdadu Belanda, Boengkoes
ikut dalam pertempuran-pertempuran disejumlah daerah seperti di Kediri,
Madiun dan Yogyakarta. Bahkan, Boengkoes pun juga pernah ditugaskan di
pulau Seram.
Pada tahun 1953, regu Andjing Laut yang berada di Seram, ditarik mundur. Akan tetapi, Andjing Laut tidak kembali ke Brawijaya, akan tetapi bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga, Jawa Tengah.
Ketika berada di Divisi Diponegoro
ini, nomor batalyon yang semula 701 berubah menjadi 448 dan seiring
berjalannya waktu, Andjing Laut menjadi bagian dari Brigade Infanteri.
Dan hampir semua anggotanya berdarah Madura. Doel Arief, Djahurup dan Boengkoes tergabung dalam satu batalyon 448 Kodam Diponegoro. Dan komandan batalyon 448 waktu itu adalah Kolonel Abdul Latief, kata Heru Atmodjo.
Jelas sudah, bahwa Kolonel Latief sudah mengenal para personel Tjakrabirawa ini sejak lama. Ketika usai menamatkan sekolah Kader Infanteri, Boengkoes
di mutasi ke Cadangan Umum Salatiga. Cadangan Umum adalah pasukan
Garuda I dan II yang di jadikan satu setelah mereka pulang dari tugas di
Kongo.
Cadangan Umum ini terdiri dari dua jenis yaitu, baret merah dan baret
hijau. Baret merah yang berada di Mudjen dan baret hijau yang berada di
Srondol. Dan komandan baret hijau tersebut adalah Untung !.....
BERSAMBUNG KE HALAMAN 3
Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Assalamualaikum. Apakah ada kontak penulisyang bisa saya hubungi?
BalasHapus