google.com, pub-8027005344017676, DIRECT, f08c47fec0942fa0

FOTO LANGKA Tentara Belanda Meninggalkan Yogyakarta

SoekarnoPada tanggal 25 Juni 1949, rombongan pasukan Belanda pertama telah meninggalkan daerah Yogyakarta. Gelombang pertama adalah pasukan-pasukan yang berkedudukan di Wonosari, bagian Yogya sebelah timur. Para pasukan tersebut diangkut dengan menggunakan truk-truk dengan kawalan bren carrier seperti yang nampak disini.
Pemberangkatan tentara belanda dari Wonosari ini disaksikan oleh kolonel Van Langen, seorang komandan tentara Belanda yang ada di Jogja dan opsir-opsir dari UNCI atau United Nations Commisioner for Indonesia (PBB). Tidak ada satupun insiden yang terjadi pada hari itu.

Politik Etnis Tionghoa Indonesia




KH Abdurrahman Wahid adalah seseorang yang berasal dari etnis Tionghoa pertama yang menjadi Presiden RI. Beliau adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah pendiri Kesultanan Demak. Raden Patah sendiri nama aslinya adalah Tan Jin Bun atau Tan Eng Hwa. Tan A Lok dan Tan Jin Bun ini adalah anak dari puteri Tiongkok yang menjadi selir Raden Brawijaya V.

Tan Kim Han menurut hasil penelitian ahli sejarah Perancis Louis-Charles Damais tidak lain adalah Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Lahirnya Indonesia


AR Baswedan adalah seorang wartawan berdarah Arab yang bekerja di koran  Sin Po, milik temannya yang berdarah Tionghoa. AR Baswedan dan Liem Koen Hian adalah teman seperjuangan. Mereka berdua adalah anggota BPUPKI - Founding Fathers RI yang men draft UUD 1945. Yang Tionghoa di BPUPKI ada Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oei Tjong Hauw, dan Oei Tiang Tjoei dari 68 anggota. 
Keturunan Arab cuma ada 1 yaitu AR Baswedan dan perwakilan dari Indo Eropa ada 1, yaitu PF. Dahler.

Liem Koen Hian pendiri Partai Tionghoa Indonesia pendukung kemerdekaan RI di tahun 1932. Kemudian sahabat dekatnya, AR Baswedan mendirikan Partai Arab Indonesia di tahun 1934 dengan gagasan sama, kemerdekaan Indonesia. Hanya segelintir orang keturunan Tionghoa yang gencar memperjuangkan nasionalisme Indonesia. Liem Koen Hian salah satunya. Puluhan tahun dia memperjuangkan bangsa Indonesia yang merdeka. Dia mempropagandakan orang keturunan Tionghoa adalah orang Indonesia. Liem layak disebut bapak asimilasi. Namun sungguh tragis di akhir hidupnya, Liem dikecewakan bangsanya dan meninggal sebagai orang asing dinegeri kelahirannya.

Kalau di PPKI ada 1 Tionghoa namanya Dokter Yap Tjwan Bing. Oleh Walikota Solo Joko Widodo dijadikan nama jalan di Solo menggantikan nama Jalan Pejagalan. Kalau orang yang merekam pertama kali lagu Indonesia Raya dan dikejar-2 Belanda bernama Yo Kim Tjan pemilik Toko Populair di Pasar Baru, Batavia. Rekaman dilakukan tahun 1926, sebelum Sumpah Pemuda 1928. Setelah situasi aman, kembali ke Jakarta dan Proklamasi diadakan di tempat yang sekarang menjadi Tugu Proklamasi.

Selanjutnya Sumpah Pemuda 1928 diadakan di Jalan Kramat Raya 106, dirumah Sie Kok Liong. Rumah Sie Kok Liong juga dihuni oleh M. Yamin, Asaat, Amir Sjarifudin, Soegondo Djojopoespito, Setiawan, Soejadi, Mangaradja Pintor, A.K. Gani, Mohammad Tamzil dan Assaat dt Moeda. Ada 3 pemuda Tionghoa Sumsel di Sumpah Pemuda 1928.

Sehari sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta diamankan di rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok. Hingga sekarang, rumah tersebut masih berdiri dan dijadikan cagar budaya bersejarah.

Naskah lagu Indonesia Raya pertama kali diterbitkan di Indonesia jaman penjajahan oleh Koran Melayu Tionghoa Sin Po, sebagai edisi khusus Oktober 1928 bersama Sumpah Pemuda.

Lahirnya Indonesia dibidani oleh semua kelompok, tidak ada yang lebih berjasa dan tidak ada yang tidak berkorban dalam berbagai bentuk. Mari saling menghargai dan menyayangi. (KLVD)

Menteri Indonesia yang Terlupakan


Soekarno di dalam istana kepresidenan berkata : “Saya panggil Mr. Oei untuk diangkat menjadi Menteri yang akan membantu Presiden dan Presidium (Dr. Subandrio, Dr. Leimena, dan Chaerul Saleh). Bagaimana?” Oei Tjoe Tat menjawab polos, “Mengagetkan, tak pernah saya impikan dan inginkan.” Rupanya Bung Karno tidak berkenan dengan jawaban itu, sehingga memberondong Oei dengan pertanyaan yang bertujuan menguji loyalitasnya sebagai kader Partindo, ketaatannya kepada Presiden Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi, dan sebagainya, dan sebagainya. Oei Tjoe Tat pun akhirnya menerima baik pengangkatan itu. Apalagi setelah Bung Karno dengan suara berat berkata, “Sayalah yang menentukan kapan Bangsa, Negara, dan Revolusi memerlukan Saudara, bukan Saudara sendiri.”

Terakhir, Oei Tjoe Tat kembali bikin "PERKARA” dengan Bung Karno, ketika ia melontarkan pertanyaan, “Apakah nanti sebagai Menteri Republik Indonesia saya sebaiknya mengganti nama, dan apakah Presiden berkenan memilihkan nama baru saya?” 
Muka Bung Karno sontak merah, dan berkata meledak-ledak, “Wat? Je bent toch een Oosterling?... Heb je gen respect meer voor je vader, die je die naam heft gegeven…” (Apa?... Kamu kan orang Timur, Apa kamu sudah kehilangan hormat pada ayahmu, yang memberi kamu nama itu?...” 
Jawaban Bung Karno ditangkap jelas oleh Oei Tjoe Tat, bahwa Presiden Sukarno bukan rasialis. Sepulang dari Bogor dan menceritakan pengalamannya itu, istrinya hanya melongo.