google.com, pub-8027005344017676, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Aidit Meminang Lewat Surat


Pada suatu siang, di awal tahun 1946, kantor majalah Bintang Merah yang beralamat di Jalan Purnosari-Solo kedatangan tamu tak diundang. Mereka adalah 2 orang tamu wanita yang segera disambut dan di jamu oleh dua orang redaktur majalah yang tak lain adalah Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit. Dua gadis tersebut mengaku sebagai mahasiswi tingkat III Perguruan Tingi Kedokteran di Klaten-Jawa Tengah. Yang berpipi tembem dan agak sedikit bulat montok mengaku bernama Soetanti. Soetanti oleh teman-temannya biasa dipanggil dengan sebutan RONJE (dalam bahasa Belanda yang artinya: bundar). Awalnya mereka berdua datang hanya sekedar silaturahmi saja.  Beberapa hari kemudian, Soetanti mendatangi lagi kantor tersebut bersama teman-temannya lainnya yang berjumlah lebih banyak dari sebelumnya.  Kali ini, kedatangan  mereka atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Lalu mereka mengharap kehadiran Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi Propaganda Partai Komunis Indonesia cabang Solo, untuk memberikan pidato dan dukungan soal politik dan keorganisasian. Akibat dari urusan organisasi tersebut, menyebabkan Soetanti sering hilir mudik Klaten-Solo.

Aidit Merantau ke Jakarta

Waktu itu tahun 1936, Achmad Aidit berkata kepada Abdullah, ayahnya: "Aku mau ke Batavia". Saat itu Achmad Aidit berusia tigabelas tahun setelah lulus dari sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang  setingkat sekolah dasar. Karena di Belitung, sekolah tersebut merupakan yang paling tinggi. Dan sekolah tingkat menengah bernama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Untuk melanjutkan sekolah tingkat menengah tersebut, para pemuda yang ada di Belitung, harus merantau ke Medan atau Batavia (Jakarta). Pemuda yang keluar dari Belitung dan merantau ke tanah Jawa, saat itu bisa dihitung dengan jari. Karena pada masa itu, pergi meninggalkan Belitung bukanlah perkara yang lazim.
Achmad yang jarang meminta sesuatu ini, meyakinkan ayahnya tentang keinginan hatinya untuk merantau ke Batavia. Kata Murad, "Jika sampai meminta sesuatu, berarti, kakaknya memang sudah memiliki tekad yang bulat ". Dalam bukunya Sobron, adik Aidit yang lain menuliskan pula dalam bukunya: Abang,Sahabat dan Guru diMasa Pergolakan, menerangkan bahwasanya untuk mendapatkan izin pergi merantau keluar Belitung, seorang pemuda diharuskan memiliki empat syarat yaitu, sudah dikhitan, bisa mencuci pakaian, bisa memasak dan sudah khatam membaca Al Quran. Dan semua syarat tersebut, sudah dapat dipenuhi oleh Achmad Aidit.

Gubuk Reyot Mantri Aidit

Rumah tua berbentuk panggung yang terbuat dari kayu yang telah dimakan usia, lapuk dan berjamur dengan sebagian atap sirap yang telah berubah diganti seng. Kerangka rumah yang utama masih menggunakan kayu ulin yang kokoh berwarna hitam mengkilat. Itulah rumah kediaman Abdullah Aidit, ayah Dipa Nusantara Aidit, ketua umum Partai Komunis Indonesia (PKI) Yang di dirikan sejak tahun 1921 oleh Haji Ismail, kakek DN. Aidit dari garis ayahnya. Rumah panggung tersebut berlokasi di Jalan Belantu No.3 (sekarang telah menjadi Jalan Dahlan No. 12). Dusun Berutak, Desa Pangkalalang, Belitung Barat.
Seperti pada umumnya sebuah rumah di Belitung, rumah tersebut memiliki bangunan utama, rumah bagian depan dan bagian belakang yang berukuran 7 x 8 meter. Sisi bagian depannya juga telah diberubah , karena telah dibongkar semenjak meninggalnya Abdullah Aidit paa 23 November 1965.

Masa Kecil Dipa Nusantara Aidit


Aidit yang berasal dari keluarga terhormat di Belitung, telah memiliki bibit-bibit komunisme yang tumbuh dalam pribadinya,  tatkala menyaksikan keadaan para buruh kecil disebuah perusahaan tambang timah didaerahnya. Achmad Aidit yang dilahirkan pada hari Senin Pahing, 30Juli 1923 di Jalan Belantu No. 3, Pangkallalang-Belitung.

Ayahnya, yang bernama AbdullahAidit, adalah seorang mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung pada saat itu. Ibunya yang bernama Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah mailan adalah Ki Agus Haji Abdul Rachman. Ayah Mailan adalah seorang tuan tanah yang kaya raya. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari, sejauh jari menunjuk itulah tanah mereka. Dan Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang cukup berhasil. Mereka memiliki tempat penangkapan ikan dilaut, dan pemasok ikan terbesar dipasaran.

Sisi Lain Dipa Nusantara


Sebagian dari bangsa Indonesia mengenang pria itu dengan kebencian dan rasa kagum. Dipa Nusantara Aidit seorang pimpinan PKI (Partai Komunis Indonesia) ketika itu, usianya yang masih muda, 31 tahun. Dia cuma membutuhkan waktu setahun guna melejitkan nama Partai Komunis Indonesia ke dalam kategori 4 partai terbesar di Indonesia, saat itu. PKI mengklaim secara tegas, memiliki 3,5 juta pendukung dan menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Peran Aidit dan G30S

Setahun sekali, setiap tanggal 30 September, bangsa Indonesia akan selalu mengingat PKI (Partai Komunis Indonesia). PKI dimasa lalu, dianggap bersalah dan tumbang dalam tragedi berdarah 30 September 1965. Pucuk pimpinan PKI Dipa Nusantara Aidit menghadapi dilema yang tidak mudah.

Aidit menjadi ketua umum sejak tahun 1951. 3 tahun setelah pemberontakan Madiun, Aidit berhasil mengkoslidasi partai yang  sedang  terpuruk itu dengan prestasi yang fantastis.  PKI mendapat posisi ke-4 dalam Pemilu 1955 dengan perolehan suara 6,1 jua pemilih atau 16,4% suara. Dua tahun kemudian, diadakan pemilu daerah, jumlah suara PKI meningkat hampir 40%. PKI dan mendapat suara mayorias di beberapa daerah.

PKI adalah partai komunis terbesar didunia, setelah partai komunis Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Anggota PKI mengklaim berjumlah 3,5 juta jiwa, meningkat hebat dari yang tadinya hanya berjumlah 4000-an jiwa.

Namun, jika hanya mengharap "REVOLUSI" melalui jalan Pemilu tentu tidak akan dapat mewujudkan  harapan PKI, tahap penting untuk mencapai masyarakat tanpa kelas seperti ajaran dan cita-cita Karl Marx dan Lenin. Dikarenakan, saat itu presiden Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin-nya tidak membuka pintu. Dan bagi sebagian petinggi PKI, hal itu dianggap bukan hal jitu, karena PKI tak pernah menang.

Pena Soekarno


Pada tahun 1920-an, saat usia Soekarno masih belasan tahun, Soekarno sudah berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Soekarno menerbitkan karya tulisannya melalui media massa Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. pada waktu itu, beliau menggunakan nama pena dari tokoh wayang yang bernama Bima.

Pada koran tersebut, Soekarno menuliskan artikel dan opini yang berjumlah sekitar 500-an. Karya tulisan Soekarno sangatlah tajam dan memojokkan kaum imperialisme, kolonialisme dan kapitalisme waktu itu.
"...hantjoeurkan segera kapitalisme jang dibantu budaknja imperialisme dan kolonialism.
Dengan kekoeatan Islam, Insja Allah, itu segera dilaksanakan", itulah salah satu tulisan Soekarno.

Indonesia sahabat Korea

 SEBUAH adegan mengharukan terjadi. Seorang prajurit tua Amerika Serikat berjalan memakai penyanggah di tangan kirinya, sambil tertatih ia mendatangi rumah tinggal pribadi seorang presiden Indonesia, di kawasan hijau asri di Kebagusan, Jakarta Selatan.
Prajurit tua itu didakwa berdosa mengkhianati negerinya karena berpaling membela musuh negaranya selama hampir 40 tahun: Korea Utara. Pria berambut putih itu ingin berterima kasih karena Indonesia membantunya bertemu keluarganya yang terpisah selama 21 tahun.

Soekarno Menjebak Marshall Green

Marshall Green menyerahkan surat kepercayaan sebagai Duta Besar Amerika Serikat kepada Presiden Soekarno, 26 Juli 1965, di Istana Merdeka, Jakarta, hanya 5 hari sejak kedatangannya di Indonesia. Lima hari merupakan waktu yang sangat singkat, duta besar negara lain harus menunggu beberapa minggu untuk tiba di momen tersebut.

Hubungan AS dan Indonesia memburuk sejak akhir 1950-an. Pemicunya beberapa: konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, ancaman nasionalisasi perusahaan AS di Indonesia, serangan ke kantor perwakilan AS di Indonesia, juga dugaan keterlibatan AS dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Dalam suasana politik semacam itu, Green menyampaikan pidato. Datar dan normatif. Lalu, giliran Soekarno diberi kesempatan bicara.

Soekarno dimata Pemberontak


Sejak awal 1957, koran-koran kiri seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur sering merilis berita soal Sumitro Djojohadikusumo. Isinya: tuduhan bahwa ahli ekonomi dan politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu terlibat korupsi.