google.com, pub-8027005344017676, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Masa Kecil Dipa Nusantara Aidit


Aidit yang berasal dari keluarga terhormat di Belitung, telah memiliki bibit-bibit komunisme yang tumbuh dalam pribadinya,  tatkala menyaksikan keadaan para buruh kecil disebuah perusahaan tambang timah didaerahnya. Achmad Aidit yang dilahirkan pada hari Senin Pahing, 30Juli 1923 di Jalan Belantu No. 3, Pangkallalang-Belitung.

Ayahnya, yang bernama AbdullahAidit, adalah seorang mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung pada saat itu. Ibunya yang bernama Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah mailan adalah Ki Agus Haji Abdul Rachman. Ayah Mailan adalah seorang tuan tanah yang kaya raya. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari, sejauh jari menunjuk itulah tanah mereka. Dan Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang cukup berhasil. Mereka memiliki tempat penangkapan ikan dilaut, dan pemasok ikan terbesar dipasaran.

Kemudian seiring berjalannya waktu, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara (D.N) Aidit memang berasal dari keluarga terpandang. karena itulah, Aidit mudah bergaul dengan siapapun juga, seperti: para polisi di tangsi (asrama polisi), orang-orang keturunan Tionghoa di pasar-pasar, dan para noni-noni Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton (sebuah perusahaan tambang) yang hanya berjarak 2 kilometer dari rumah Aidit. Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton ini, kemudian di nasionalisasikan pada era presiden Soekarno  dan berganti nama menjadi PT Pertambangan Timah Balitung (setelah timah menipis, perusahaan ini tutup pada tahun 1991).

Disamping supel terhadap siapa saja, anak-anak Abdullah Aidit juga mudah masuk ke Hollandsch Inlandsche School (HIS), yaitu sekolah menengah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sekarang, bangunan tersebut masih kokoh berdiri dan berubah nama menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1, Tanjung Pandan. Abdullah Aidit memiliki delapan orang anak yang kesemuanya laki-laki. Dari pernikahannya dengan Mailah, lahir Achmad, Basri, Ibrahim (meninggal saat dilahirkan) dan Murad. Abdullah Aidit kemudian menikah lagi dengan Marisah dan memiliki anak Sobron dan Asahan. Kesemuanya memiliki nama keluarga di belakang nama mereka. Namun nama Aidit bukanlah marga, kata Ibarrurri , puteri sulung DN. Aidit. Ketika mereka menikah, Marisah membawa dua anak hasil pernikahannya dengan suami sebelumnya. Kedua anak-anak tersebut bernama Rosiah dan Muhammad Thaib.
Meski mendapatkan pendidikan disekolah pemerintah Hindia Belanda, anak-anak Abdullah rajin dan taat dalam beribadah. Abdullah Aidit juga seorang tokoh pendidik Islam di Belitung, beliau adalah pendiri organisasi pendidikan Darul Islam yang dekat dengan daerah Pecinan kota tersebut. Hingga sekarang, sekolah tersebut masih ada. Setiap kali sepulang sekolah, Aidit dan adik-adiknya selalu belajar mengaji bersama guru mereka Abdurrachman, yang masih saudara ipar Abdullah Aidit. Seusai mengaji, Achmad dan adik-adiknya mencari air disungai dengan jerigen besar. Seluruh warga di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai seorang muadzin (tukang mengumandangkan adzan). Pada saat itu, belum ada pengeras suara untuk mengumandangkan adzan seperti saat ini. "Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan," kata Murad Aidit.

Dari kesemua anak-anak Abdullah Aidit, yang paling mudah bergaul dan mendapatkan teman adalah Achmad Aidit. Ternyata, di Belitung saat itu ada empat geng besar, dan Aidit mendekati kesemuanya.
Geng Kampung, kelompok ini beranggotakan anak-anak pribumi. (Achmad dan adik-adiknya masuk kelompok ini)
Geng Anak Benteng,kelompok ini beranggotakan anak-anak tangsi/ anak-anak polisi yang datang dari Jawa.
Geng Tionghoa,Kelompok ini adalah anak-anak orang Tionghoa yang ada dipasar dan pelabuhan. Oleh karenanya, geng ini juga disebut geng pasar.
Geng Sekak

Achmad Aidit sering nongkrong bersama anak-anak geng pasar. Suasana, didaerah Pecinan kala itu masih terbuka lebar dengan segala aktivitasnya. Beberapa plakat dan papan pertokoan dan kios-kios saat itu masih banyak menggunakan aksara-aksara tiongkok.
Geng anak-anak muda yang bernama geng Sekak, berasal dari komunitasyang sering berpindah-pindah tempat. Antara geng tersebut acapkali terjadi perkelahian. Karena keadaan kala itu sedemikian ganasnya, Achmad kemudian mulai membesarkan otot-otot tubuhnya. Achmad rajin menggembleng dirinya dengan olahraga tinju dan angkat beban, yang mengakibatkan tubuh Achmad menjadi lebih keras daripada saudara-saudaranya.

Achmad menjadi pelindung saudaranya dari perkelahian antar geng. Suatu hari, adiknya yang bernama Murad berkelahi dengan salah seorang anak geng tangsi, kemudian Murad melaporkan hal ini pada kakaknya. Kemudian Achmad mencari tahu musuh adiknya tersebut, setelah tahu, Achmad-pun pulang kerumah dan berkata pada Murad, "kau lawan saja sendiri". Ini menunjukkan bahwa Achmad tidak asal membela adiknya, tetapi diapun tahu, bahwa musuh tersebut seimbang dengan adiknya yang bernama Murad tersebut. Achmad hanya turun tangan, jika adiknya menghadapi lawan yang lebih besar saja.
Meski perkelahian sangat sengit, Achmad sangat mudah berdekatan dengan semua geng yang ada. Achmad sering pulang larut malam, karena menyaksikan wayang bersama anak-anak dari geng tangsi. 

Achmad juga gemar berjalan menyusuri sungai bersama anak-anak geng Sekak dan adu renang didaerah sungai Gunung Tajam, duapuluh kilometer dari Belitung. Achmad Aidit juga sering kongkow bersama anak-anak geng pasar, yaitu anak-anak keturunan Tionghoa, karena mereka pun sama-sama bersekolah di HIS.
Achmad -pun juga sering melindungi saudara-saudaranya dari ayahnya yang galak dan keras. Pada suatu petang, Basri pernah melakukan kesalahan, ia tak sengaja melepaskan 15 itik dari kandang, Abdullah ayah mereka marah besar, dan Achmad melihat adiknya dalam bahaya kemarahan ayahnya, Achmad Aidit mengaku, bahwa dialah yang menjadi penyebab kaburnya kelima belas itik-itik tersebut. Akhirnya, Ahmad Aidit menerima hukuman untuk mencari kawanan itik tersebut sejak petang hingga maghrib, karena ingin melindungi Basri dari kemarahan ayahnya.

Perkembangan Achmad Aidit dalam pergaulan lebih pesat daripada anak-anak remaja seusianya. Selain menjalin pergaulan dengan semua kelompok anak-anak remaja, anak-anak geng, dia pun juga bergaul dengan para buruh di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billington yang berjarak dua kilometer dari rumah Achmad Aidit. Itulah awal mula semangat perjuangan anti penjajah Belanda, anti penindasan yang akan membentuk karakter Achmad Aidit dikemudian hari, sebagai tujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas .
Setiap hati, Aidit menyaksikan keadaan para buruh yang berandi keringat, berkubang lumpur dan tetap dicekam kemiskinan tiada ampun. Sedangkan disisi lain, keadaan para petinggi Belanda dan para tuan besar Inggris berfoya-foya. Karena didalam perusahaan ini terdapat societet, bangunan istimewa untuk para penjajah menonton film sambil bermabuk-mabukan.
Karena penasaran melihat pola hidup para buruh yang cenderung tertutup itu, Aidit mulai mendekati mereka. Aidit yang  menyaksikan ada seorang buruh yang menanam pisang didepan rumahnya dan Aidit pun menawarkan bantuan, dan ia pun mulai mencangkul tanah.  Semakin hari, hubungan keduanya semakin akrab dan dekat. Mereka kadang ngobrol sambil minum kopi dan makan singkong rebus. Dari pembicaraan-pembicaraan sederhana itulah, akhirnya Aidit bisa memahami akan kesulitan dan kesusahan para buruh serta foya-foya para penjajah petinggi tambang yang sombong.

Pergaulan bersama kaum buruh itulah yang pada akhirnya menentukan pola pikir dan jalan pikirannya untuk berpolitik Achmad Aidit, setelah tiba di Jakarta.
Hingga akhirnya, dia memimpin PKI hingga tumbang, hancur luluh lantah dalam peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September ( G30S). 


Naskah aseli: Masa Kecil di Belitung  Anak Belantu Jadi Komunis_TEMPO (1-7 Oktober 2007)