Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto bertanya pada Komandan Brigade IV Infanteri, Kolonel Yasir Hadibroto tentang keberadaannya, ketika meletus pemberontakan Madiun 1948. Saat itu, pasukan Kolonel Yasir Hadibroto sedang dipindahkan dari Jawa Barat ke Wonosobo, guna membasmi tiga batalyon kelompok komunis.
"Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu". "Sekarang bereskan itu semua. D.N Aidit ada di Jawa Tengah, bawa pasukanmu kesana", perintah Soeharto kepada Kolonel Yasir Hadibroto di Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta.
Yasir menuturkan ulang, pada Kompas edisi 5 Oktober 1980. Ketika itu, Yasir dan pasukannya tiba di Tanjung Priok. Brigade Infanteri IV tersebut tengah melaksanakan operas di Kisaran-Sumatera Utara. Disebabkan meletus tragedi G30 S/PKI, mereka pulang.
Sabtu pahing, 2 Oktober 1965 adalah hari pertemuan tersebut. Pada hari tersebut, para tentara telah mulai memburu orang-orang yang diduga anggota PKI. Akan tetapi, Ketua Umum Central Comite PKI Dipa Nusantara Aidit menghilang. Kemudian, setelah mendapat perintah dari Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto, Yasir pun membawa pasukannya menuju Solo. Di Solo, Yasir bertemu dengan Sri Harto, orang kepercayaan PKI yang tengah berada dalam sebuah kerangkeng. Kemudian Sri Harto dibebaskan. Dalam beberapa hari saja, Sri Harto datang kembali dan melaporkan bahwa, Aidit tengah berada di Kleco dan pada tanggal 22 November hendak segera beralih kesebuah persembunyian barunya, di daerah Sambeng, belakang stasiun Balapan, sebuah rumah bekas pegawai PJKA.
Jebakan penangkapan segera disusun, dan apa yang telah dilaporkan Sri Harto adalah benar adanya. Sekitar pukul sebelas siang, dirumah tersebut, Aidit baru saja tiba,membonceng sepeda motor vespa milik Sri Harto. Pengintaian terus berlangsung , dan sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno yang memimpin pasukan Brigadir Infanteri IV, mulai menyerbu rumah mantan karyawan PJKA tersebut.
Dari jarak jauh, Yasir memantau penggrebekan tersebut. Aksi inipun diliput oleh seorang wartawan Harian Republika profesional, Alwi Shahab. Menurut berita yang diliput oleh Alwi Shahab, saat terjadi penggrebekan, Aidit sedang sembunyi didalam lemari kayu. Prayitno sendiri yang membuka dan memergokinya di dalam lemari. Bukannya takut ataupun kaget karena ketahuan bersembunyi, Aidit malah membentak Prayitno, "Mau apa kamu ?...". Awalnya Prayitno sempat ketakutan juga, kemudian membujuk agar supaya Aidit mau untuk dibawa ke markas tentara, Loji Gandrung. Pada malam itu juga, Aidit di introgasi oleh Yasir. Dikabarkan pula, bahwa Aidit sempat menulis pengakuan peranggung jawaban secara tertulis sejumlah 50 halaman. Pengakuan tertulis yang dikabarkan tersebut berisi antara lain bahwa, Aidit selaku Ketua Umum CC PKI, bertanggung Jawab penuh atas insiden G30 S. Akan tetapi, menurut Yasir, bukti tulisan yang setebal 50 halaman tersebut telah dibakar oleh Pangdam Diponegoro. Namun, entah bagaimana caranya, Asahi Evening News di Jakarta, Risuke Hayasi berhasil mendapat dan menerbitkan berita perihal isi tulisan 50 halaman yang telah dibakar tersebut.
Aidit berkali-kali meminta untuk dapat dipertemukan dengan Presiden Soekarno. Yasir menjadi bingung dan permintaan Aidit tidak dipenuhi. "Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan menjadi lain," kata Yasir.
Akhirnya setelah malam berlalu, pada pagi buta, Yasir membawa Aidit untuk segera meninggalkan kota Solo untuk menuju arah barat. Jip paling belakang berisi Yasir dan Aidit dengan tangan terikat. Saat terang, ketiga jeep tersebut tiba di Boyolali dan Yasir yang berada pada jeep paling belakang membelok dan menuju Markas Batalyon 444, tanpa sepengetahuan jeep pertama dan kedua yang ada didepannya.
Yasir sudah bertekad hendak menghabisi Aidit ditempat itu juga. Di Markas Batalyon 444 tersebut, Yasir bertanya pada komandan Batalyon, Mayor Trisno; "Ada sumur ?". Lalu Mayor Trisno menunjukan sebuah sumur tua dibagian belakang. Disanalah Yasir membawa Aidit, dan disanalah Yasir mempersilahkan Aidit mengucapkan pesan-pesan terakhir dan berdoa. Akan tetapi, dengan semangat yang antusias, Aidit malah berpidato dengan meletup-letup. Hal ini membuat Yasir dan anak buahnya menjadi semakin geram. Akhirnya peluru-peluru dimuntahkan dari ujung senapan. Dada Aidit berlubang dan terkoyak, Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu tumbang tak bernyawa dan mayatnya dimasukkan kedalam sumur tua.
Jumat Wage, 24 November 1965 pukul tiga sore, Yasir menemui Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan perihal tugas yang di emban sekaligus tekadnya dalam menghabisi Aidit, Kolonel Yasir Hadibroto pun bertanya: "Apakah yang bapak maksudkan dengan bereskan itu, seperti sekarang ini, pak ?". Dan Soeharto pun hanya tersenyum.
Sumber naskah aseli:
Dan Soeharto pun Tersenyum, Tempo (1-7 Oktober 2007)
Ketika Soeharto Tersenyum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]