Pada suatu siang, di awal tahun 1946, kantor majalah Bintang Merah yang beralamat di Jalan Purnosari-Solo kedatangan tamu tak diundang. Mereka adalah 2 orang tamu wanita yang segera disambut dan di jamu oleh dua orang redaktur majalah yang tak lain adalah Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit. Dua gadis tersebut mengaku sebagai mahasiswi tingkat III Perguruan Tingi Kedokteran di Klaten-Jawa Tengah. Yang berpipi tembem dan agak sedikit bulat montok mengaku bernama Soetanti. Soetanti oleh teman-temannya biasa dipanggil dengan sebutan RONJE (dalam bahasa Belanda yang artinya: bundar). Awalnya mereka berdua datang hanya sekedar silaturahmi saja. Beberapa hari kemudian, Soetanti mendatangi lagi kantor tersebut bersama teman-temannya lainnya yang berjumlah lebih banyak dari sebelumnya. Kali ini, kedatangan mereka atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Lalu mereka mengharap kehadiran Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi Propaganda Partai Komunis Indonesia cabang Solo, untuk memberikan pidato dan dukungan soal politik dan keorganisasian. Akibat dari urusan organisasi tersebut, menyebabkan Soetanti sering hilir mudik Klaten-Solo.
Kedatangan yang selanjutnya tidak lagi di kantor Bintang Merah, namun ke kantor PKI di Jalan Boemi No. 29. Kata Hasan, dari pertemuan-pertemuannya itulah, hubungan antara Aidit dan Soetanti menjadi semakin akrab. Watak kedua orang tesebut amatlah bertentangan. Soetanti adalah cucu dari seorang Bupati Tuban dan seorang yang berdarah ningrat Mangkunegaran. Soetanti memiliki banyak teman yang berasal dari berbagai lapisan dan golongan. Gelar Dokter yang disandangnya pun membuatnya semakin di hormati ditunjang oleh sikapnya yang ceria, periang, mudah bergaul dan berbicara ceplas-ceplos. Berbeda dengan Aidit yang anak seorang mantri kehutanan asal Belitung, pemuda misterius, selalu serius dan tak pandai berkelakar sekaligus pecinta musik klasik. Karena yang dipikirkan oleh Aidit adalah, bagaimana cara untuk membuat partai-nya semakin maju dan berkembang. Berbicara dengan Aidit, tak akan lepas dari pembicaraan politik, revolusi dan patriotisme. Dan hal ini yang justru disukai oleh Soetanti.
Dalam pidatonya, Aidit secara gamblang dan fasih mengutip filsafat Marxisme, mengenai Revolusi Perancis dan Revolusi Oktober Uni Sovyet serta tentang politik-politik modern saat itu. Setiap kali Aidit menyampaikan orasinya, Soetanti selalu memperhatikannya di bangku terdepan. Meski antara keduanya sangat akrab, namun mereka tidak pernah berduaan. Siti Aminah, ibu dari Soetanti pun pada akhirna megangkat Hasan Raid sebagai anak angkat, karena mereka sama-sama berasal dari Minangkabau. Aidit pun tak pernah terlihat apel ataupun meyambangi Soetanti layaknya orang yang sedang berpacaran. Mereka bertemu pun juga dalam kegiatan dan acara keorganisasan. "Jika menginap dikantor PKI, Setanti pasti datang beramai-ramai", kata Hasan.
Pada suatu waku, setelah Aidit selesai berorasi, Aidit datang dan memberikan sepucuk surat kepada Soetanti, yang di tujukan kepada ayah Soetanti yaitu, bapak Moedigdo yang menjadi seorang kepala polisi di Semarang, yang aktif di Partai Sosialis Indonesia. Isi dari surat tersebut adalah, surat lamaran Aidit yang berniat memperistri Soetanti. Ayah Soetanti,bapak Moedigdo langsung menyetujui lamaran Aidit.
Pada awal 1948, Aidit yang berusia 25 tahun dan Soetani berusia 24 tahun, resmi dinikahkan secara sah menggunakan tata cara Islam, tanpa menggelar pesta , di tempat KH. Raden Dasuki, seorang sesepuh PKI cabang Solo, selak penghulu. Dari pihak wanita, dihadiri oleh bapak Moedigdo, ibu Siti Aminah dan ke empat adik Soetanti, sedangkan dari pihak Aidit, di hadiri oleh Murad dan Sobron, dua adik laki-laki Aidit inilah yang menjadi wakil keluarga dari Belitung.
Usai menikah, kegiatan Aidit dalam partai semakin bersemangat, bahkan Aidit sering meninggalkan Soetanti yang saat itu membuka praktek dokter. Aidit keluar masuk kampung, untuk sosialisai,dan mensukseskan program-program PKI.
Ketika September 1948. terjadilah Pemberontakan Madiun yang dilakukan oleh PKI. Aidit sempat ditangap, lalu kemudian menjadi buronan ke Jakarta. Soetanti pun semakin sedih, karena ayahnya yang selalu mendukung Amir Syarifuddin, tewas tertembak peluru. Di Jakarta pun, Aidit tidak pernah tinggal dirumah dan pada tanggal 23 November 1948, Soetanti hanya ditemani oleh adik-adik Aidit saat melahirkan putri sulungnya yang bernama Ibarruri Putri Alam. Aidit dan Soetanti jarang bersama, kecuali dalam acara formal dan kenegaraan saja.
Pada tahun 1951, Aidit menjadi ketua Politbiro, jabatan eksekuif dalam partai PKI. Aidit semakin sibuk dan sering bepergian keluar negeri, melawat dan menghadiri rapat-rapat Internasional Komunis Tiongkok, Rusia dan Vietnam. Menurut kesaksian wartawan Harian Rakjat dan Radio Gelora Pemuda Indonesia, Fransisca Fanggidaej: "Tak ada mesra-mesraan seperti pasangan muda lain". Pada tahun 1957-1959, Fransisca Fanggidaej-pun menjadi anggota parlemen PKI. Fransisca Fanggidaej adalah satu-satunya wanita Indonesia yang akrab dengan Aidit dan saat ini tinggal di Belanda. Antara adidit dan Soetanti, keduanya sering bertemu di parlemen dan kantor partai saja. Kata Fransisca, hal yang paling menonjol dari pribadi Aidit adalah sosok orang yang sederhana dan egaliter. Anak-anak Aidit memanggilnya dengan sebutan papa, dan Soetanti memanggil suaminya dengan sebutan "DIT". Sementara orang-orang lainnya memanggilnya dengan penuh hormat menggunakan sebutan "Bung". Ketika Fransisca mempertanyakan akan sebutannya terhadap suaminya, Soetanti pun dengan enteng menjawab: "Ya suka-suka saya dong, dia kan suami saya. Kalau dia keberatan, dia pasti langsung bilang ke saya". Aidit tak pernah mengeluh tentang masalah pribadinya, selama menikah dengan Soetanti, meski banyak wanita mengagumi dan disukai banyak wanita partai dan gedung DPR kala itu. Selain cerdas, luas wawasannya dan sedikit agak manis, Aiditpun pandai menghargai orang lain, kata Fransisca. Hanya sekali waktu, saat itu di tahun 1950, Aidit dengan bercanda menyatakan kagum akan kecantikan wanita yang bernama Ismiyati, yaitu anggota konstituante, kata Fransisca. Ismiyati itu adalah kembang parlemen dan banyak di sukai oleh banyak laki-laki, sambung Fransisca. Guyonan Aidit tersebut membuat Utuy Tatang Sontani, seorang sastrawan kiri, menyatakan kekaguman yang sama. Diam-diam, antara Aidit dan Utuy berlomba untuk mendapatkan hati Ismiyati. Namun, kompetisi tersebut tidaklah serius, karena akhirnya Ismiyati menikah dengan pria lain. Akhirnya Aidit dan Utuy tertawa bersama, karena diantara keduanya tidak ada yang mampu mendapatkan hati Ismiyati, karena mereka berdua hanya sebatas mengagumi sosok Ismiyati yang cantik. Pada dasarnya, tak pernah tersiar kabar bahwa Aidit pernah memiliki hubungan dengan wanita lain sebelum ataupun sesudah menikah kecuali hanya dengan Soetanti. Karena Aidit adalah tipe orang yang menentang poligami. Njoto, wakil ketua II Comite Central PKI juga pernah mendapat kemarahan Aidit, karena Njoto hendak menikah lagi dengan seorang penerjemah asal Rusia. Semasa Aidit berkuasa dan menjadi pemimpin, perselingkuhan dan poligami sangat ditentang keras, karena hal tersebut hampir merupakan aturan dan garis partai yang tidak boleh dilanggar, kata mantan anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, Oey Hay Djoen. Oey Hay Djoen menceritakan, bahwa pada masa-masa kejayaannya, banyak sekali anggota-anggota PKI yang di skors karena ketahuan berselingkuh/ memacari istri orang.
Sumber naskah aseli: Kisah Cinta Meminang Lewat Sepucuk Surat , TEMPO (1-7-2007)
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]