Rumah tua berbentuk panggung yang terbuat dari kayu yang telah dimakan usia, lapuk dan berjamur dengan sebagian atap sirap yang telah berubah diganti seng. Kerangka rumah yang utama masih menggunakan kayu ulin yang kokoh berwarna hitam mengkilat. Itulah rumah kediaman Abdullah Aidit, ayah Dipa Nusantara Aidit, ketua umum Partai Komunis Indonesia (PKI) Yang di dirikan sejak tahun 1921 oleh Haji Ismail, kakek DN. Aidit dari garis ayahnya. Rumah panggung tersebut berlokasi di Jalan Belantu No.3 (sekarang telah menjadi Jalan Dahlan No. 12). Dusun Berutak, Desa Pangkalalang, Belitung Barat.
Seperti pada umumnya sebuah rumah di Belitung, rumah tersebut memiliki bangunan utama, rumah bagian depan dan bagian belakang yang berukuran 7 x 8 meter. Sisi bagian depannya juga telah diberubah , karena telah dibongkar semenjak meninggalnya Abdullah Aidit paa 23 November 1965.
Yang masih tinggal disana adalah Gakdung, seorang buruh lepas pelabuhan Tanjung Pandan yang berasal dari suku Bugis. "Gakdung awalnya mengontrak tempat itu, karena hidupnya serba kekurangan ahirnya, biarlah Gakdung menempati tempat itu secara cuma-cuma", kata Murad Aidit, adik DN. Aidit. Rumah tua nan lusuh dimakan usia itupun kini hanya ditempati oleh seorang nelayan miskin. yang tersisa adalah bilik, ruang tamu dan dapur saja. Rumah Abdullah dahulu pernah menjadi asrama pelajar yang berasal dari Kelapa Kampit-Belitung, atau sekitar limapuluh empat kilometer dari Tanjung Pandan.
Abdul Hadi Adjin, mantan sekretaris pemerintah kabupaten Bangka Barat pun pernah menempati rumah tersebut. Antara Jalan Dahlan yang terbentang memanjang dan rumah yang tersebut terdapat kebun dengan beberapa pohon jengkol dan pohon pisang. Kebun. ini dulunya adalah bekas rumah bagian depan dan yang sebagian lagi dulunya halaman, yang saat ini digunakan sebagai lapangan badminton. Ditempat itulah dulu, Achmad Aidit berlatih tinju dan angkat beban. Sampai D.N Aidit datang ke Jakarta, halaman depan rumah inipun masih di pakai sebagai kegiatan olahraga para pemuda kampung Pangkalalang. Tak jauh dari tempat itu, terdapat rumah kuno lain yang lebih kokoh dan lebih terawat. Rumah tersebut adalah milik Siti Azahra, yaitu bibi Achmad Aidit atau istri dari guru Achmad Aidit yang ketika masih kecil mengajarinya membaca Al Quran. Rumah itu kini dimiliki oleh Efendi, kerabat dari Siti Azahra.
Anak-anak Abdullah Aidit juga pernah belajar mengaji Quran kepada Liman, yang terhitung masih saudara sepupu Siti Azahra. Rumah Liman pun juga berada dekat dengan rumah itu. Achmad Aidit beserta teman-teman sebayanya pun sering berlatih kesenian hadrah. Tak jauh dari rumah Abdulah, juga terdapat surau panggung. Di surau panggng inilah Achmad kecil sering mengumandangkan adzan maghrib dan isya. Sekarang, surau panggung itu sudah hilang dan berganti menjadi BPD Sumatera Selatan cabang Belitung.
Cucu Siti Azahra yang bernama Rosihan mengungkapkan bahwa, orang-orang yang lahir sebelum tahun 1970-an pasti mengenal rumah kediaman milik mantri Aidit. Sebutan Mantri ini diujukkan kepada Abdullah Aidit karena dulunya pernah bekerja sebagai pegawai Boswezen atau dinas kehutanan zaman kolonial Hindia Belanda. Abdullah wafat pada tahun 1968 dengan kondisi yang tragis. Istri keduanya, Marisah menemukan jasadnya 3 hari setelah kematiannya. Saat Abdullah meninggal, Marisah sedang mengunjungi kerabatnya dan baru tiba setelah tiga setelahnya. Kemudian, setelah Abdullah meninggal, rumah itu ditempati oleh Marsiah hingga akhir hayatnya pada tahun 1974.
Namun, apakah para warga dikampung Air Barutak tersebut mengait-ngaitkan rumah kono tersebut dengan Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia ?..... Sama sekali tidak. "Buat kami, semua biasa-biasa saja", kata Taufan, cucu Siti Azahra. Semuanya sudah berlalu, yang kini tersisa hanyalah gubuk reyot beratap sirap, rumah panggung kuno yang menjadi saksi bisu kehidupan sebuah keluarga masa lalu yang indah.
Naskah aseli : Rumah Tua Mantri Aidit Tempo, 1-7 Oktober 2007
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]