Sebagian dari bangsa Indonesia mengenang pria itu dengan kebencian dan rasa kagum. Dipa Nusantara Aidit seorang pimpinan PKI (Partai Komunis Indonesia) ketika itu, usianya yang masih muda, 31 tahun. Dia cuma membutuhkan waktu setahun guna melejitkan nama Partai Komunis Indonesia ke dalam kategori 4 partai terbesar di Indonesia, saat itu. PKI mengklaim secara tegas, memiliki 3,5 juta pendukung dan menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
DN. Aidit memiliki impian dan cita-cita sebuah revolusi, ia bermimpi tentang Indonesia tanpa kelas. Tetapi, tuhan berkehendak lain, ia tersingkir dan tumbang pada tragedi berdarah 1965. Setelah itu, ia jadi mitos yang legendaris hingga hari ini. Seperti peristiwa G30S, kisah tentang Aidit dipenuhi mitos dan berbagai takhayul. Siapakah sosok bernama Dipa Nusantara Aidit ini sebenarnya ?...
Syu'bah Asa dalam memerankan DN. Aidit |
Setiap 30 September film tersebut itu diputar oleh satu-satunya stasiun televisi Indonesia saat tu, yaitu TVRI dan disiarkan keseluruh pelosok negeri. Lalu di depan layar kaca, seluruh rakyat Indonesia menyaksikan kekejaman dan kengerian yang ditampilkan pada film tersebut. Membayangkan sosok Aidit yang penuh dengan tipu muslihat, dengan bibir bergetar mengepulkan asap rokok memerintahkan pembunuhan terhadap para jenderal, yang kemudian dikenal dengan pahlawan revolusi. Seluruh rakyat Indonesia tidak ada yang berani menyebut-nyebut nama PKI, karena nama itu dianggap dapat mendatangkan malapetaka.
Setelah Orde Baru runtuh, rakyat Indonesia dapat lebih bebas untuk berbicara tentang PKI. Bahkan di beberapa tempat, PKI didiskusikan kembali. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip sejumlah 151 doktrin ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain sebagai sang idola.
DN. Aidit memulai berorganisasi sejak usianya masih muda. Putra daerah Belitung, yang lahir dengan nama asli Achmad Aidit itu menjalani karier politiknya disebuah asrama mahasiswa Menteng 31, yang saat itu merupakan tempat berkumpulnya para aktivis pemuda radikal kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, Aidit pernah juga terlibat peristiwa Rengasdengklok, yaitu upaya penculikan presiden Soekarno oleh para pemuda dikarenakan, pemimpin besar revolusi saat itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan republik Indonesia.
1948, Aidit terlibat pemberontakan PKI di Madiun, padahal usianya saat itu baru 25 tahun. Setelah itu, ia hilang entah kemana. Beberapa orang mengatakan ia bersembunyi ke Vietnam Utara, sedangkan sebagian yang lainnya mengatakan ia sering hilir mudik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia baru muncul, Aidit hanya membutuhkan waktu setahun untuk mendongkrak dan memperbaiki reputasi PKI. Aidit kemudian mengambil alih partai tersebut dari para komunis-komunis tua, yaitu Alimin dan Tan Ling Djie, pada tahun 1954. Sungguh tak dapat dibayangkan, pada Pemilu 1955 Partai Komunis Indonesia sudah mampu merebut hati rakyat dan menjadi urutan ke-empat perolehan suara terbesar di Indonesia.
PKI dengan percaya diri mengklaim memiliki anggota berjumlah 3,5 juta orang, dan angkat tersebut sangatlah luar biasa pada keadaan zaman tersebut. Ini adalah sebuah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, saat itu.
Setahun sebelum pemilu,dalam sebuah kongres partai, Aidit menyampaikan pidatonya tentang "jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi". Dipa Nusantara memiliki impian dan cita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain kesulitan dalam meregenerasi kader-kadernya, PKI menampilkan anak-anak belia untuk di jadikan pimpinan partai, diantaranya yaitu:
- D.N. Aidit, 31 tahun,
- M.H. Lukman,34 tahun,
- Sudisman 34 tahun,
- Njoto 27 tahun
Lahir dari sebuah keluarga yang cukup terpandang di Belitung, Sumatera Selatan pada 30 Juli 1923, D.N. Aidit adalah anak sulung dari enam bersaudara, dua di antaranya adik tiri. Ayahnya, yang bernama Abdullah Aidit, adalah seorang mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung saat itu. Ibunya yang bernama Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan adalah seorang tuan tanah yang kaya raya. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari, sejauh jari menunjuk, itulah tanah mereka. Dan Abdullah Aidit adalah anak dari Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang cukup berhasil. Tidak banyak bukti yang dapat menguraikan kehidupannya secara jelas pada saat berada di Belitung akan tetapi, keterangan dari Murad Aidit, anak bungsu Abdullah-Mailan. Meski juga disebut-sebut bahwa Achmad adalah kakak yang melindungi adik-adiknya, dan ada pula cerita yang menyebutkan ia sebetulnya kurang peduli dengan keluarganya.
Ketika saat mereka sudah di Jakarta, Aidit pernah mengatakan satu-satunya hal yang mengaitkan mereka berdua adalah, mereka berasal dari ibu dan bapak yang sama. Dengan kata lain, Achmad kurang peduli soal asal muasal mereka. Di Belitung, Aidit bergaul dengan banyak orang. Ia menjadi bagian dari anak pribumi, tapi juga bergaul dengan banyak pemuda Tionghoa. Simpatinya kepada kaum buruh dimulai dari persahabatannya dengan seorang pekerja Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah tambang timah di kampung halamannya. Ada seorang mantan wartawan Harian Rakjat, sebuah koran yang berafiliasi dengan PKI, menangkap kesan lain tentang Aidit. Katanya, Dipa Nusantara bukan orang yang mudah didekati. Ia tegang, ia tak ramah. "Saya tak pernah merasa nyaman bila bersamanya," kata mantan wartawan tersebut.
Dalam hal ini, potret Arifin C. Noer, sutradara Pengkhianatan G-30-S/PKI, tentang Aidit mungkin ada benarnya. Aidit adalah pegiat partai yang dingin. Tidak seperti Njoto, ia agak fleksibel dan luwes. Kisah cintanya jarang terdengar, kecuali dengan Soetanti, dokter yang belakangan menjadi istri Aidit. Pernah suatu ketika terdengar kabar bahwa ia menyukai seorang gadis yang juga dicintai sastrawan kiri, Utuy Tatang Sontani. Tapi tak ada perselisihan yang berarti. Ketika gadis itu menikah dengan lelaki lain, keduanya cuma tersenyum simpul. Aidit juga penulis puisi, tapi sajak-sajaknya miskin imajinasi. Puisi-puisinya pernah ditolak dimuat di Harian Rakjat, koran kiri, yang sebetulnya berada di bawah kendalinya.
Ada kemungkinan, Aidit menulis sajak karena hendak meniru Mao Tse-Tung yang juga menulis sajak. Dikabarkan pernah pula Aidit berenang di sebuah sungai di Jakarta karena tahu Ketua Mao juga pernah menyeberangi Sungai Yang-Tse di Cina. Akan tetapi, dia sempat menjadi pucuk pimpinan partai yang berhasil merebut sebagian hati rakyat Indonesia, sampai G-30-S membuatnya harus kehilangan nyawanya.
Kini peristiwa itu dikenal dengan berbagai tafsir dengan Aidit sebagai tokoh yang selalu disebut. Buku putih pemerintah Orde Baru menyebutkan PKI adalah dalang kerusuhan. Tujuannya, hendak menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Hasil studi sejumlah Indonesianis asal Cornell University, Amerika Serikat, menyimpulkan kejadian itu adalah buah konflik internal Angkatan Darat semata. Studi ini disokong penelitian lain yang dilakukan Coen Holtzappel. Ada pula yang yakin Amerika Serikat dan CIA yang menjadi dalang. Bekerja sama dengan orang tertentu dalam tubuh Angkatan Darat.
AS memfitnah PKI dan memprovokasi Angkatan Darat untuk menjatuhkan Soekarno. Penelitian Geoffrey Robinson termasuk yang mempercayai skenario ini. Yang lain percaya ada skenario Inggris dan CIA yang bertemu untuk menjatuhkan Soekarno yang saat itu prokomunis. Ada pula yang berpendapat G30S adalah skenario Soekarno untuk melenyapkan oposisi tertentu dalam Angkatan Darat. D.N. AIDIT sebetulnya punya sejumlah modal untuk melancarkan revolusi, sesuatu yang dipercaya kaum komunis bisa menjadikan masyarakat lebih baik, yaitu sebuah masyarakat tanpa kelas.
Ia dekat dengan Soekarno, ia punya massa, akan tetapi PKI juga punya kelemahan, yaitu tidak punya tentara. Pengalaman partai komunis di banyak negara menunjukkan kekuatan bersenjata di bawah kendali partai adalah esensial karena, seperti kata Mao, kekuasaan lahir dari senjata. PKI pernah mengusulkan dibentuknya angkatan kelima dengan mempersenjatai buruh dan tani, namun ide gagasan itu segera ditentang tentara.
Guna mengatasi keadaan, Aidit berupaya dengan teorinya sendiri. Sebuah revolusi bisa dijalankan menggunakan kudeta, asalkan gerakan tersebut dapat disokong oleh 30 persen tentara. Kabarnya, gagasan ini sempat dipermasalahkan oleh para aktivis partai komunis negara lain karena ide itu tidak sesuai dan tidak ada dalam ajaran Marxisme.
Di sinilah muncul dugaan kuat bahwa Aidit telah berjalan sendiri. Inidikasi yang paling sering disebut adalah ketika ia mendirikan Biro Chusus bersama Sjam Kamaruzzaman, seorang tokoh yang misterius yang tak banyak dikenal oleh petinggi PKI. Pendirian Biro Chusus menjadi bahan gunjingan karena dilakukan tanpa persetujuan dengan para anggota Comite Central lain. Sudisman menyebut ada dua faksi yang ada didalam partainya adalah PKI legal dan PKI ilegal. Yang terakhir ini adalah sindiran Sudisman terhadap Biro Chusus terhadap Aidit.
Itulah sebabnya, di hadapan seorang wartawan Harian Rakjat, terbitan 6 Oktober 1965, Njoto pernah bertanya kepada Lukman tentang apa yang terjadi dengan G-30-S dengan nada bingung. Lukman menggeleng, Njoto, dalam wawancaranya dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965, dua pekan sebelum ia dinyatakan hilang, menyerang keyakinan Aidit tentang kudeta yang bisa bermutasi menjadi revolusi itu. "Revolusi siapa melawan siapa?... Apakah dengan demikian Letnan Kolonel Untung, pemimpin aksi G30S, mengenai adanya Dewan Jenderal itu membenarkan coup d'etat?" tanya Njoto.
Apakah benar, Aidit adalah dalang tunggal terjadinya tragedi berdarah G30S ?... Dalam diskusi internal redaksi Tempo, Ibarruri Putri Alam, anak sulung D.N. Aidit, menyangkalnya. Iba, yang kini bertempat tinggal di Paris-Prancis, yakin benar, bahwa bapaknya-pun tidak tahu sama sekali soal pembunuhan yang dilakukan terhadap para jenderal.
Dari beberapa studi yang pernah dibacanya diketemukan bahwasanya, ketika dibawa ke Halim, Jakarta Timur, oleh aktivis PKI tak lama setelah pembunuhan terjadi, Aidit bertanya-tanya, "Saya mau dibawa ke mana?..." Di sinilah ada dugaan kuat yang lain muncul, Aidit ditelikung oleh Sjam Kamaruzzaman. Skenario ini bukan tak punya bukti dan alasan yang kuat. Sebuah studi mengutip keterangan dari seorang Mayor Angkatan Udara Soejono yang pernah berbincang dengan Aidit 30 September malam.
Kepada Soejono, Aidit membenarkan kabar, berita dan bahwa informasi-informasi penting yang ditujukan kepadanya harus melalui Sjam. Persoalannya, menurut Soejono, rapat-rapat Politbiro menjelang G30S hanya memerintahkan penangkapan para jenderal, untuk diserahkan kepada Bung Karno. Bukan untuk melakukan pembunuhan.
Ketidak setujuan terhadap analisis militer Sjam, juga sudah disampaikan oleh seorang komandan batalion gerakan yang kemudian ditahan disebuah Rumah Tahanan Militer Salemba. Begitukah?..... Tak pernah ada jawaban tunggal atas tragedi berdarah yang menewaskan jutaan orang tersebut.
Sejarah adalah sebuah proses menafsirkan. Aidit bukan sepenuhnya "si brengsek," sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan.
Naskah aseli : Dua Wajah Dipa Nusantara, TEMPO (1-7 Oktober 2007)