Waktu itu tahun 1936, Achmad Aidit berkata kepada Abdullah, ayahnya: "Aku mau ke Batavia". Saat itu Achmad Aidit berusia tigabelas tahun setelah lulus dari sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang setingkat sekolah dasar. Karena di Belitung, sekolah tersebut merupakan yang paling tinggi. Dan sekolah tingkat menengah bernama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Untuk melanjutkan sekolah tingkat menengah tersebut, para pemuda yang ada di Belitung, harus merantau ke Medan atau Batavia (Jakarta). Pemuda yang keluar dari Belitung dan merantau ke tanah Jawa, saat itu bisa dihitung dengan jari. Karena pada masa itu, pergi meninggalkan Belitung bukanlah perkara yang lazim.
Achmad yang jarang meminta sesuatu ini, meyakinkan ayahnya tentang keinginan hatinya untuk merantau ke Batavia. Kata Murad, "Jika sampai meminta sesuatu, berarti, kakaknya memang sudah memiliki tekad yang bulat ". Dalam bukunya Sobron, adik Aidit yang lain menuliskan pula dalam bukunya: Abang,Sahabat dan Guru diMasa Pergolakan, menerangkan bahwasanya untuk mendapatkan izin pergi merantau keluar Belitung, seorang pemuda diharuskan memiliki empat syarat yaitu, sudah dikhitan, bisa mencuci pakaian, bisa memasak dan sudah khatam membaca Al Quran. Dan semua syarat tersebut, sudah dapat dipenuhi oleh Achmad Aidit.
Aidit lalu pergi ke Batavia dan tinggal disebuah rumah milik teman ayahnya yang bernama Marto. Marto adalah seorang polisi yang saat itu tinggal di Cempaka Putih. Akan tetapi, ketika Achmad Aidit tiba di Batavia, pendaftaran MULO sudah ditutup. mau tidak mau, diapun harus bersekolah di MHS (Middestand Handel School).Yaitu, sebuah sekolah pendidikan dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Degan sikap idealis dan bakat pemimpin yang dimiliki Aidit, maka membuat ia menonjol diantara teman-temannya. Aidit pun mampu mengorganisir para teman-emannya untuk melakukan bolos sekolah secara massal guna menghantarkan jenazah pahlawan kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin hingga ke pemakaman. Akibat terlalu aktif dengan urusan diluar sekolah, Aidit pun tidak dapat menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS. Setelah tiga tahun di Cempaka Putih, lalu Aidit berpindah ke sebuah tempat indekost di Tanah Tinggi 48, daerah Senen-Jakarta Pusat. Kemudian, Murad pun datang ke Jakarta menemui Achmad Aidit untuk bersekolah. Tidak mudah bagi keuangan Abdullah untuk menyekolahkan dua anak mereka ke Jakarta, karena menjadi mantri kehutanan, gajinya selama sebulan hanya 60 gulden. Dari 60 gulden tersebut, 15-25 gulden disisihkannya untuk dikirimkan ke Batavia, guna biaya sekolah kedua anak-anaknya. Dan dengan uang kiriman dari ayahnya, jumlah tersebut juga terhitung pas-pasan bagi mereka berdua.
Pada tahun 1942, adalah masa kependudukan Jepang di Indonesia. Hubungan antara Jakarta dan kota disekitarnya terputus. Ketika itu, dari tempat kost nya, Aidit menyaksikan orang-orang sibuk menjarah gudang di pelabuhan Tanjung Priok. Sejak pagi hingga sore, penjarahan itu terus terjadi dan kemudian orang-orang yang mendapat hasil jarahan tersebut membawanya ke Pasar Senen.
Akibat hubungan antara Jakarta dan kota disekitarnya terputus, menyebabkan uang jatah kiriman mereka tak dapat diharapkan. Akibat desakan keadaan, maka Achmad dan Murad bekerja untuk dapat bertahan hidup. Aidit lalu membuat sebuah biro pemasaran iklan dan surat kabar bernama ANTARA. Seiring berkembangnya usaha, ANTARA juga menjual buku-buku dan majalah. Saat kakaknya sibuk melayani pelanggan, disebelahnya Murad juga berjualan lencana dan pin bergambar para pahlawan, seperti Dr Soetomo, R.A Kartini, Pangeran Diponoro, dll.
Berdagang bukanlah sesuatu yang asing bagi Aidit, karena saat dulu tinggal di Belitung, tiap ada pertandingan sepak bola di kampung Parit, Aidit pun juga sering berjualan nanas dan krupuk. Hasil penjualan tersebut untuk ditabung, tulis Sobron dalam bukunya.
Karena merasa belum puas atas hasil yang diperolehnya, Aidit lalu mengajak teman satu kostnya, Mochtar, untuk bekerja sama. Mochtar adalah seorang penjahit di Pasar Baru yang memiliki toko yang letaknya strategis.
Kemudian, para tokoh ativis pemuda saat itu, seperti Adam Malik, Chaerul Shaleh dan pemuda-pemuda lainya sering berkumpul dan nongkrong di toko milik Mochtar tersebut. Akhirya, toko milik Mochtar pun menjadi ramai pengunjung dan jaringan pertemanan Aidit menjadi kian meluas.
Setelah Mochtar berumah tangga dan mengontrak tempat tinggal di daerah Kramat Pulo, Aidit dan Murad pun turut serta menempati rumah kontrakan tersebut. Keadaan ini sangat membuat Aidit senang, karena Mochtar pun juga sering membebaskan ongos sewa kepada mereka berdua. Akan tetapi, kalau Mochtar sedang kesulitan keuangan dan tidak memiliki uang, setoran uang sewa Murad selalu dia sisipkan kedalam kantong Mochtar. Dan Aidit pun pasti akan menggerutu, sambil memarahi Murad.
Akibat situasi ekonomi Indonesia saat itu semakin memburuk, akhirnya Aidit mengalah. Murad pun di suruh berpindah dan tinggal di sebuah asrama korban perang dan paa akhirnya Murad dipuangkan ke Belitung.
Situasi dan keadaan politik Indonesia yang hinggar bingar saat itu, telah membuat minat dan semangat Aidit untuk turut serta terjun didalamnya. Awal mulanya, Aidit bergabung pada Persatuan Timur Muda (PERTIMU), perkumpulan ini di gerakkan oleh Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) di bawah pimpinan Amir Syarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani.
Dalam perkumpulan inilah, gerakan dan sepak terjang Aidit dengan lawan politik semakin menjadi-jadi dan tidak lama setelah itu, Aidit pun di pilih sebagai Ketua Umum Pertimu. Disaat karir politiknya semakin bersinar terang, Aidit mencoba menghilangkan bayang-bayang keluarganya yang ada di tanah Belitung. Berkali-kali Murad meminta bantuan uang, akan tetapi selalu di tolak. Dan Aidit pun sempat berkata bahwa, "persamaan mereka adalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari orangtua yang sama". "Selebihnya, tidak ada hubungan apapun diantara kita".
Kemudian, Aidit merubah namanya dari semula yang bernama Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara atau sering di singkat D.N. Pergantian nama tersebut adalah perhitungan resiko politik Aidit, karena "dia mulai membaca resiko", kata Murad. Sejak namanya diganti itulah, tidak banyak orang yang tahu akan asal-usul Aidit. Banyak yang menyebut, ia adalah seorang yang memiliki darah Minang. Dan D.N didepan namanya adalah nama singkatan dari Djafar Nawawi.
Abdullah, ayahAidit, tidak dapat menerima pergantian nama anaknya tersebut. Dikarenakan nama Achmad Aidit sudah terlanjut terdaftar dan tertulis di slip daftar gaji Abdullah dan akan banyak menimbulkan banyak masalah, jikalau nama putra sulung Abdulah itu mendadak hilang dari daftar keluarga..
Antara Abdullah dan Aidit sering berkomunikasi lewat berbalas surat beberapa kali hingga pada akhirnya, Abdullah menyerah dengan keputusan Aidit tenang pergantian nama tersebut. Dan sesuai kesepakatan antara ayah dan anak, nama D.N Aidit akan mulai dipakai jika sudah ada keputusan dan pengesahan secara resmi dari notaris dan kantor Burgelijske Stand (Catatan Sipil).
Sumber naskah aseli: Merantau Ke Jakarta Sejak Awal
Membaca Risiko_Tempo,
1-7 Oktober 2007
Aidit Merantau ke Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]