SEBUAH adegan mengharukan terjadi. Seorang prajurit tua Amerika Serikat berjalan memakai penyanggah di tangan kirinya, sambil tertatih ia mendatangi rumah tinggal pribadi seorang presiden Indonesia, di kawasan hijau asri di Kebagusan, Jakarta Selatan.
Prajurit tua itu didakwa berdosa mengkhianati negerinya karena berpaling membela musuh negaranya selama hampir 40 tahun: Korea Utara. Pria berambut putih itu ingin berterima kasih karena Indonesia membantunya bertemu keluarganya yang terpisah selama 21 tahun.
Agak aneh memang bagi Charles Jenkins, sang prajurit tua itu. Ia datang ribuan kilometer dari kota Pyongyang, Korea Utara ke Jakarta untuk bertemu keluarganya. Jenkins tidak mungkin ke Korea Selatan, Cina, Rusia atau Jepang yang lebih dekat. Dia ke Indonesia, karena negeri yang jauh dari semenanjung Korea yang selalu bermusuhan selema lebih 60 tahun itu, dianggap sangat netral dan bersahabat bagi dua Korea.
Indonesia memang negeri aneh dan ajaib. Bersahabat dengan semua negara, ideologi dan aliran. Dari pemimpin yang super jahat sampai paling demokrasi. Sikap ini kadang membingungkan dan menyimpan tanda tanya. Waktu negeri Afghanistan dicabik robek oleh Rusia, Indonesia tak bisa langsung marah kepada Afghanistan, seperti diperlihatkan hampir semua negara. Baik Rusia dan Afghanistan adalah dua sahabat baik yang banyak membantu ketika Indonesia masih tertatih-tatih dahulu.
Begitu juga waktu Iran yang sekuler dikuasai kaum rohaniawan keras kepala, Indonesia banyak diam tidak bereaksi. Yang digulingkan, yaitu Shah Iran, adalah sahabat baik dan yang menggulingkan, yaitu kaum ayatullah, juga ingin berteman dengan negeri berpenduduk muslim terbesar sejagat raya.
Waktu perang mengerikan terjadi Yugoslavia awal 1990an, ketika bangsa Serbia membunuhi secara biadab orang-orang Bosnia, Indonesia seperti orang bertapa diam seribu bahasa. Bangsa Serbia dan Bosnia merupakan dua bangsa sahabat Indonesia ketika masih menjadi Yugoslavia. Ketika Presiden Soeharto datang ke Bosnia tahun 1996, tak seorangpun berani mengganggu pesawatnya yang melintasi wilayah konflik.
Ketika diktator Ferdinand Marcos disingkirkan oleh People’s Power dan digantikan Corazon Aquino, Indonesia bisu tak berkomentar. Marcos adalah sahabat baik Jakarta, begitu juga dengan Aquino yang menganggap Indonesia sebagai negeri paling dihormatinya. Sama halnya dengan masalah berlarut di Myanmar (Burma).
Indonesia seperti orang tak punya mulut karena enggan menekan atau sekedar memarahi penguasa militer. Sang penguasa berseragam tentara di sana adalah karib Indonesia sejak dulu. Di satu sisi, ayahanda Aung San Syu Kii (musuh rejim militer), yaitu Aung San, merupakan sahabat baik pendiri bangsa ini dan sosok yang banyak membela Indonesia ketika negeri ini masih balita.
Ketika dua Korea kembali bermusuhan akhir tahun ini, Indonesia dipaksa-paksa oleh banyak negara untuk keras bicaranya kepada satu dari Korea itu. Tetapi itu tidak dilakukan dan seperti biasa tak ada reaksi keras. Mengapa?
Di dunia ini tidak ada negara yang memiliki ikatan persahabatan sangat dekat dengan dua Korea secara bersamaan. Cina?.... Oh, negeri ini pendukung mati Korea Utara. Jepang?..... Hahaha…kapan negeri Sakura ini disayang oleh Korea Utara?..... Amerika Serikat?..... Waah…mustahal bisa netral. Mereka yang membantu Korea Selatan membunuhi tentara Korea Utara waktu terjadi perang antara negeri bermata sipit itu awal 1950an.
Bagaimana negara-negara barat?..... Rata-rata lebih melirik Korea Selatan yang lebih maju dalam segala hal terutama otot ekonominya. Negeri-negeri komunis (dan bekas komunis), tidak begitu mesra sama Korea Selatan meski sekarang mereka saling berdagang. Negara-negara ASEAN?
Kebanyakan lebih menyukai Korea Selatan. Tidak ada yang terlalu dekat dengan Korea sebelah utara yang sangat tertutup bagai inkubator. Negeri-negeri di Afrika, Skandinavia atau Amerika Latin, tidak terlalu perduli masalah persahabatan mereka dengan dua Korea. Di tambah jarak geografis dan kultural yang sangat jauh dan berbeda.
Bagaimana dengan Indonesia? Korea Utara sangat menyayangi Indonesia dan sulit melupakannya sebagai sahabat sejati. Lalu Korea Selatan sangat membutuhkan Indonesia sebagai ladang mencari duit dari jualan produk mereka. Investasinya di nusantara tergolong besar bernilai puluhan trilyun rupiah.
Hanya Indonesia yang masih didengar dan dihormati oleh penguasa Korea Utara yang sangat misterius dan susah diterka keinginannya dan jalan pikirannya ole dunia luar. Di mata Korea Selatan, Indonesia dihormati karena menjadi mitra penghasil uang milyaran dolar AS.
Kalau ada defile kehormatan dua Korea dalam sebuah event olah raga, Indonesia pasti akan berada diantara kedua Korea, sebagai pemisah dan penengah. Bahkan untuk urusan personal yang mengharukan seperti prajurit tua AS yang membelot ke Korea Utara, Charles Jenkins, Indonesia dipilih sebagai tempat yang netral untuk urusan penengah dan juru damai.
Dalam sejarahnya, Indonesia memang lebih dekat ke Korea Utara daripada Selatan ketika masa Presiden Soekarno berkuasa. Pendiri bangsa ini begitu terkagum sama pemimpin Korea Utara Kim Il Sung (ayahanda Kim Jong Il, pemimpin yang sekarang), sampai memuji-muji prestasinya dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1965.
“Sekarang Koreanya Kim Il Sung sudah sepenuhnya memecahkan masalah sandang pangan, produksi padinya saja 400kg lebih per kapita per tahun, dan dari negara agraris industril sekarang Korea Kim Il Sung sudah menjadi negara industril-agraris”, teriak Soekarno di tangga Istana Merdeka pagi hari.
Pujian itu dia dapat dari matanya sendiri yang melihat kemajuan negeri tertutup itu, ketika berkunjung ke Pyongyang tahun 1964. Di sana nama Soekarno begitu dihormati oleh penguasa komunis di Korea. Hal ini bisa dilihat perlakuan khusus yang didapatkan, ketika pesawatnya mendarat dari Jepang. Padahal tidak dibolehkan ada benda terbang langsung dari Jepang ke Korea Utara. Sebaliknya, Jepang tak mengijinkan ada pesawat terbang dari negeri Sakura ke Korea Utara, musuh Jepang, kecuali untuk Soekarno.
Di Indonesia, nama Kim Il Sung dikenang baik ketika dia datang ke Bogor bulan April 1965. Di Kebun Raya Bogor dia tertarik dengan sebuah tanaman anggrek merah muda romantik. Soekarno memberikan tanaman itu kepadanya dan memberi nama bunga tersebut dengan nama sang tamu: kimilsungia. Kini bunga itu semerbak berkembang di sana dan menjadi flora patriotik sebagai bunga bangsa yang sakral.
Kemesraan hubungan kedua bangsa yang berlainan aliran dan budaya, tak terlalu surut meski Soekarno tersingkir. Penguasa baru yang anti komunis tetap menjaganya meski membenci komunis, meski Soeharto malas datang ke Pyongyang selama 32 tahun berkuasa. Dia lebih mendekat ke saudaranya Korea Utara yang ekonominya lebih maju dan bisa diajak kerjasama menghasilkan uang.
Soeharto menjadi pemimpin pertama Indonesia yang menginjak kaki di Korea Selatan tahun 1982. Kedatangannya disambut dengan prangko khusus Korea Selatan berwajah Soeharto dan tuan rumah Presiden Chun Do Hwan. Kedatangannya untuk membalas kunjungan Chun ke Indonesia setahun sebelumnya, sebagai kepala negara Korea Selatan pertama ke Indonesia. Mereka sama-sama tentara dan keras bertindak. Hanya bedanya ketika turun kekuasaan, Chun (bersama penggantinya Roh Tae Woo) dihukum mati (meski tidak dimatikan) dan Soeharto tidak.
Supaya berimbang, Soeharto yang enggan ke Pyongyang mengirim Wakil Presiden Adam Malik tahun 1982 untuk bertemu Kim Il Sung beberapa bulan sebelum digantikan Umar Wirahadikusumah. Beda dengan Soekarno, Adam Malik kebingungan mau terbang ke Pyongyang. Pesawat dari Jepang dan kota Seoul tidak mungkin. Apalagi dari Cina komunis juga tak bisa karena masih bermusuhan. Kedatangan Malik dan juga Wakil Presiden Soedharmono ke Korea Utara tahun 1987, hanya buat basa-basi supaya tetap menghormati sahabat lama.
Permusuhan “abadi” dua saudara Korea itu, sempat membaik ketika Presiden Megawati Soekarnoputri datang mengunjungi sahabat lamanya, Presiden Kim Jong Il tahun 2002. Waktu Kim ikut bapaknya ke Indonesia tahun 1965, Megawati yang mengalungi bunga di Kemayoran. Mereka berteman baik, seperti kedua ayah mereka. Hampir 40 tahun tak ada seorangpun presiden Indonesia ke Korea Utara.
Keesokan harinya, Megawati terbang ke Seoul menemui pemimpin Korea Selatan Kim Dae Jung untuk membawa pesan perdamaian dari sahabatnya di utara. Kim di selatan dan Megawati sama-sama bekas pembangkang bagi penguasa terdahulu. Kunjungan Megawati ke Seoul juga yang pertama dalam waktu 20 tahun tidak ada pemimpin Indonesia datang ke Korea Selatan.
Ketika tidak menjadi presiden, Megawati datang kembali ke dua Korea tahun 2006 untuk menjadi jembatan bagi dua saudara yang selalu bermusuhan. Meski banyak pihak ingin mendamaikan, sosok dari Indonesia seperti Megawati misalnya lebih didengar oleh kedua bangsa sedarah itu, karena kedekatan historis dan juga personal.
Presiden Yudhoyono pernah mengundang pemimpin misterius Korea Utara Kim Jong Il untuk datang kembali ke Indonesia. Rasanya rencana ini sulit terwujud. Kim terkenal jarang bepergian. Dia hanya bisa ke Cina dan Rusia. Itupun naik gerbong kereta api berhari-hari, bahkan bisa seminggu ketika dia ke Moskow melalui jalur KA trans Siberia. Kim Jong Il takut naik pesawat.
Mungkin kah Indonesia bisa menjadi juru damai dua Korea yang selalu merepotkan dunia itu? Jawabannya bisa dilihat pada masa silam. Banyak negara dan konflik di belahan dunia menjadi damai karena jasa baik Indonesia, seperti di Kamboja atau Filipina selatan. Namun Indonesia tidak pernah menerima kebaikan itu. Bahkan sering dipermalukan bangsa lain. Tapi tidak oleh bangsa Korea.(Sumber)
Agak aneh memang bagi Charles Jenkins, sang prajurit tua itu. Ia datang ribuan kilometer dari kota Pyongyang, Korea Utara ke Jakarta untuk bertemu keluarganya. Jenkins tidak mungkin ke Korea Selatan, Cina, Rusia atau Jepang yang lebih dekat. Dia ke Indonesia, karena negeri yang jauh dari semenanjung Korea yang selalu bermusuhan selema lebih 60 tahun itu, dianggap sangat netral dan bersahabat bagi dua Korea.
Indonesia memang negeri aneh dan ajaib. Bersahabat dengan semua negara, ideologi dan aliran. Dari pemimpin yang super jahat sampai paling demokrasi. Sikap ini kadang membingungkan dan menyimpan tanda tanya. Waktu negeri Afghanistan dicabik robek oleh Rusia, Indonesia tak bisa langsung marah kepada Afghanistan, seperti diperlihatkan hampir semua negara. Baik Rusia dan Afghanistan adalah dua sahabat baik yang banyak membantu ketika Indonesia masih tertatih-tatih dahulu.
Begitu juga waktu Iran yang sekuler dikuasai kaum rohaniawan keras kepala, Indonesia banyak diam tidak bereaksi. Yang digulingkan, yaitu Shah Iran, adalah sahabat baik dan yang menggulingkan, yaitu kaum ayatullah, juga ingin berteman dengan negeri berpenduduk muslim terbesar sejagat raya.
Waktu perang mengerikan terjadi Yugoslavia awal 1990an, ketika bangsa Serbia membunuhi secara biadab orang-orang Bosnia, Indonesia seperti orang bertapa diam seribu bahasa. Bangsa Serbia dan Bosnia merupakan dua bangsa sahabat Indonesia ketika masih menjadi Yugoslavia. Ketika Presiden Soeharto datang ke Bosnia tahun 1996, tak seorangpun berani mengganggu pesawatnya yang melintasi wilayah konflik.
Ketika diktator Ferdinand Marcos disingkirkan oleh People’s Power dan digantikan Corazon Aquino, Indonesia bisu tak berkomentar. Marcos adalah sahabat baik Jakarta, begitu juga dengan Aquino yang menganggap Indonesia sebagai negeri paling dihormatinya. Sama halnya dengan masalah berlarut di Myanmar (Burma).
Indonesia seperti orang tak punya mulut karena enggan menekan atau sekedar memarahi penguasa militer. Sang penguasa berseragam tentara di sana adalah karib Indonesia sejak dulu. Di satu sisi, ayahanda Aung San Syu Kii (musuh rejim militer), yaitu Aung San, merupakan sahabat baik pendiri bangsa ini dan sosok yang banyak membela Indonesia ketika negeri ini masih balita.
Ketika dua Korea kembali bermusuhan akhir tahun ini, Indonesia dipaksa-paksa oleh banyak negara untuk keras bicaranya kepada satu dari Korea itu. Tetapi itu tidak dilakukan dan seperti biasa tak ada reaksi keras. Mengapa?
Di dunia ini tidak ada negara yang memiliki ikatan persahabatan sangat dekat dengan dua Korea secara bersamaan. Cina?.... Oh, negeri ini pendukung mati Korea Utara. Jepang?..... Hahaha…kapan negeri Sakura ini disayang oleh Korea Utara?..... Amerika Serikat?..... Waah…mustahal bisa netral. Mereka yang membantu Korea Selatan membunuhi tentara Korea Utara waktu terjadi perang antara negeri bermata sipit itu awal 1950an.
Bagaimana negara-negara barat?..... Rata-rata lebih melirik Korea Selatan yang lebih maju dalam segala hal terutama otot ekonominya. Negeri-negeri komunis (dan bekas komunis), tidak begitu mesra sama Korea Selatan meski sekarang mereka saling berdagang. Negara-negara ASEAN?
Kebanyakan lebih menyukai Korea Selatan. Tidak ada yang terlalu dekat dengan Korea sebelah utara yang sangat tertutup bagai inkubator. Negeri-negeri di Afrika, Skandinavia atau Amerika Latin, tidak terlalu perduli masalah persahabatan mereka dengan dua Korea. Di tambah jarak geografis dan kultural yang sangat jauh dan berbeda.
Bagaimana dengan Indonesia? Korea Utara sangat menyayangi Indonesia dan sulit melupakannya sebagai sahabat sejati. Lalu Korea Selatan sangat membutuhkan Indonesia sebagai ladang mencari duit dari jualan produk mereka. Investasinya di nusantara tergolong besar bernilai puluhan trilyun rupiah.
Hanya Indonesia yang masih didengar dan dihormati oleh penguasa Korea Utara yang sangat misterius dan susah diterka keinginannya dan jalan pikirannya ole dunia luar. Di mata Korea Selatan, Indonesia dihormati karena menjadi mitra penghasil uang milyaran dolar AS.
Kalau ada defile kehormatan dua Korea dalam sebuah event olah raga, Indonesia pasti akan berada diantara kedua Korea, sebagai pemisah dan penengah. Bahkan untuk urusan personal yang mengharukan seperti prajurit tua AS yang membelot ke Korea Utara, Charles Jenkins, Indonesia dipilih sebagai tempat yang netral untuk urusan penengah dan juru damai.
Dalam sejarahnya, Indonesia memang lebih dekat ke Korea Utara daripada Selatan ketika masa Presiden Soekarno berkuasa. Pendiri bangsa ini begitu terkagum sama pemimpin Korea Utara Kim Il Sung (ayahanda Kim Jong Il, pemimpin yang sekarang), sampai memuji-muji prestasinya dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1965.
“Sekarang Koreanya Kim Il Sung sudah sepenuhnya memecahkan masalah sandang pangan, produksi padinya saja 400kg lebih per kapita per tahun, dan dari negara agraris industril sekarang Korea Kim Il Sung sudah menjadi negara industril-agraris”, teriak Soekarno di tangga Istana Merdeka pagi hari.
Pujian itu dia dapat dari matanya sendiri yang melihat kemajuan negeri tertutup itu, ketika berkunjung ke Pyongyang tahun 1964. Di sana nama Soekarno begitu dihormati oleh penguasa komunis di Korea. Hal ini bisa dilihat perlakuan khusus yang didapatkan, ketika pesawatnya mendarat dari Jepang. Padahal tidak dibolehkan ada benda terbang langsung dari Jepang ke Korea Utara. Sebaliknya, Jepang tak mengijinkan ada pesawat terbang dari negeri Sakura ke Korea Utara, musuh Jepang, kecuali untuk Soekarno.
Di Indonesia, nama Kim Il Sung dikenang baik ketika dia datang ke Bogor bulan April 1965. Di Kebun Raya Bogor dia tertarik dengan sebuah tanaman anggrek merah muda romantik. Soekarno memberikan tanaman itu kepadanya dan memberi nama bunga tersebut dengan nama sang tamu: kimilsungia. Kini bunga itu semerbak berkembang di sana dan menjadi flora patriotik sebagai bunga bangsa yang sakral.
Kemesraan hubungan kedua bangsa yang berlainan aliran dan budaya, tak terlalu surut meski Soekarno tersingkir. Penguasa baru yang anti komunis tetap menjaganya meski membenci komunis, meski Soeharto malas datang ke Pyongyang selama 32 tahun berkuasa. Dia lebih mendekat ke saudaranya Korea Utara yang ekonominya lebih maju dan bisa diajak kerjasama menghasilkan uang.
Soeharto menjadi pemimpin pertama Indonesia yang menginjak kaki di Korea Selatan tahun 1982. Kedatangannya disambut dengan prangko khusus Korea Selatan berwajah Soeharto dan tuan rumah Presiden Chun Do Hwan. Kedatangannya untuk membalas kunjungan Chun ke Indonesia setahun sebelumnya, sebagai kepala negara Korea Selatan pertama ke Indonesia. Mereka sama-sama tentara dan keras bertindak. Hanya bedanya ketika turun kekuasaan, Chun (bersama penggantinya Roh Tae Woo) dihukum mati (meski tidak dimatikan) dan Soeharto tidak.
Supaya berimbang, Soeharto yang enggan ke Pyongyang mengirim Wakil Presiden Adam Malik tahun 1982 untuk bertemu Kim Il Sung beberapa bulan sebelum digantikan Umar Wirahadikusumah. Beda dengan Soekarno, Adam Malik kebingungan mau terbang ke Pyongyang. Pesawat dari Jepang dan kota Seoul tidak mungkin. Apalagi dari Cina komunis juga tak bisa karena masih bermusuhan. Kedatangan Malik dan juga Wakil Presiden Soedharmono ke Korea Utara tahun 1987, hanya buat basa-basi supaya tetap menghormati sahabat lama.
Permusuhan “abadi” dua saudara Korea itu, sempat membaik ketika Presiden Megawati Soekarnoputri datang mengunjungi sahabat lamanya, Presiden Kim Jong Il tahun 2002. Waktu Kim ikut bapaknya ke Indonesia tahun 1965, Megawati yang mengalungi bunga di Kemayoran. Mereka berteman baik, seperti kedua ayah mereka. Hampir 40 tahun tak ada seorangpun presiden Indonesia ke Korea Utara.
Keesokan harinya, Megawati terbang ke Seoul menemui pemimpin Korea Selatan Kim Dae Jung untuk membawa pesan perdamaian dari sahabatnya di utara. Kim di selatan dan Megawati sama-sama bekas pembangkang bagi penguasa terdahulu. Kunjungan Megawati ke Seoul juga yang pertama dalam waktu 20 tahun tidak ada pemimpin Indonesia datang ke Korea Selatan.
Ketika tidak menjadi presiden, Megawati datang kembali ke dua Korea tahun 2006 untuk menjadi jembatan bagi dua saudara yang selalu bermusuhan. Meski banyak pihak ingin mendamaikan, sosok dari Indonesia seperti Megawati misalnya lebih didengar oleh kedua bangsa sedarah itu, karena kedekatan historis dan juga personal.
Presiden Yudhoyono pernah mengundang pemimpin misterius Korea Utara Kim Jong Il untuk datang kembali ke Indonesia. Rasanya rencana ini sulit terwujud. Kim terkenal jarang bepergian. Dia hanya bisa ke Cina dan Rusia. Itupun naik gerbong kereta api berhari-hari, bahkan bisa seminggu ketika dia ke Moskow melalui jalur KA trans Siberia. Kim Jong Il takut naik pesawat.
Mungkin kah Indonesia bisa menjadi juru damai dua Korea yang selalu merepotkan dunia itu? Jawabannya bisa dilihat pada masa silam. Banyak negara dan konflik di belahan dunia menjadi damai karena jasa baik Indonesia, seperti di Kamboja atau Filipina selatan. Namun Indonesia tidak pernah menerima kebaikan itu. Bahkan sering dipermalukan bangsa lain. Tapi tidak oleh bangsa Korea.(Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]