google.com, pub-8027005344017676, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Soekarno dimata Pemberontak


Sejak awal 1957, koran-koran kiri seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur sering merilis berita soal Sumitro Djojohadikusumo. Isinya: tuduhan bahwa ahli ekonomi dan politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu terlibat korupsi.


Sumitro Djojohadikusumo diperiksa Corps Polisi Militer (CPM). Usai pemeriksaan kedua, 6-7 Mei 1957, ada desas-desus Sumitro akan ditahan. Sumitro segera mengambil sikap: tak mau ditahan karena merasa jadi korban konspirasi politik. Sumitro dibidik terkait posisinya sebagai menteri keuangan di Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956).

Sumitro kemudian menuju Sumatera bergabung dengan aktivis-aktivis daerah.

"Keputusan ini saya ambil sebagai putra Indonesia yang dengan tulus ikhlas dan pertimbangan-pertimbangan murni...Saya merasa gembira sekali telah lepas dari jaringan setan penahanan rezim Soekarno ini," tulis Sumitro dalam surat yang ia kirim dari Sumatera pada 1 Juni 1957.

Pada masa itu, sejumlah pemimpin daerah galau. Mereka tak puas dengan kebijakan Jakarta yang dianggap menganaktirikan daerah. Makin resah setelah Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956.
Klimaksnya jatuh pada 15 Februari 1958. Di Padang, diproklamasikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dibentuk juga kabinet yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Sementara, Sumitro ditunjuk sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran.

Presiden Soekarno saat itu tengah berada di luar negeri. Sempat menahan diri dan coba berkonsultasi dengan Hatta, Soekarno akhirnya meledak. Ia menyatakan akan menempuh tindakan "tegas dan dengan segala kekuatan yang ada" untuk memberangus PRRI.

Bos PSI, Sutan Sjahrir, mengutus beberapa kader partai untuk membujuk Sumitro agar kembali ke Jakarta. Namun, sia-sia. Sumitro justru "berkelana" ke Singapura, Saigon, dan Manila.

Tekad Sumitro sudah bulat. Ia mau melawan pemerintahan Soekarno. PSI jadi serba salah, takut dikaitkan dengan PRRI. Maklum, Sumitro adalah kader penting partai tersebut.

Kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Pada Agustus 1960, Soekarno membubarkan PSI dan Masjumi dengan alasan terlibat pemberontakan. Sjafruddin Prawiranegara (dan sejumlah tokoh lain) adalah kader Masjumi.

Ketika 2 partai itu dibubarkan, konflik bersenjata telah meletus. Amerika Serikat diyakini juga membantu persenjataan, bahkan personel, ke PRRI.

Soekarno memberi isyarat bahwa pemberontak mungkin diampuni. Syaratnya, meminta maaf dan mengakui Soekarno sebagai "Pemimpin Besar." Sumitro tidak mau. Ia terus mengembara, membawa istri dan anak-anaknya.

Sumitro baru bisa kembali ke Indonesia setelah Soekarno jatuh. Di era Orde Baru, ia kembali berkiprah sebagai salah seorang arsitek perekonomian.

Dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, Sumitro dinyatakan tak punya dendam pada Soekarno. Padahal, ia pernah bertahun-tahun dikejar aparat rezim Soekarno dan mesti berpindah-pindah tempat.

Dari sudut pandang kelahiran 29 Mei 1917 itu, Soekarno telah mempersembahkan 2 hal penting bagi rakyat Indonesia. Pertama, Soekarno berhasil membentuk keutuhan nasional.

Kedua, Soekarno adalah seorang aktor politik yang cerdas. Dengan sadar, ia tak memilih bahasa Jawa melainkan bahasa Melayu sebagai lingua franca.

"Maka tidak diragukan bahwa Presiden Soekarno adalah pahlawan dan saya sangat menghormatinya," ujar Sumitro yang pernah beberapa kali menjadi menteri pada 1950-1956 ini kepada The Business Times.

Saat diwawancarai TEMPO (1999), Sumitro pun menyatakan, hubungannya dengan Soekarno baik-baik saja.

"Saya tidak pernah menjelek-jelekkan Bung Karno, tidak satu kata pun, walau saya tahu Bung Karno menghujat saya. Bagi saya, dia ''Pemimpin yang Besar", bukan ''Pemimpin Besar". Dia jenius dalam politik, dan menyatukan negara ini. Dia luar biasa," ujar sosok yang kelak dijuluki 'Begawan Ekonomi' ini.

Menurut Sumitro, pihak yang menginginkan penangkapannya adalah Partai Komunis Indonesia. "Saya mendapat berita dari intelijen saya sendiri bahwa Politbiro PKI menganggap Sumitro sebagai salah satu musuh besarnya sehingga harus dimusnahkan.

Pada masa itu, Soekarno memang mulai bermesraan dengan PKI--sesuatu yang fatal bagi kekuasaannya pada 1965. (Yus)

0 komentar:

Posting Komentar

Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]