Hubungan Soekarno dan Mohammad Hatta sungguh berwarna. Terkadang mesra, sering juga berlumur amarah. Banyak bernuansa politis, namun juga menyangkut soal pribadi.
Saat Soekarno hendak bercerai dengan Inggit Garnasih pada 1942, Hatta mengajukan diri untuk menentukan syarat-syarat perceraian bersama dua anggota Empat Serangkai lain, yaitu Ki Hajar Dewantara dan KH Mas Mansyur. Soekarno juga anggota Empat Serangkai. Kelak, Empat Serangkai ini menjadi para pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), organisasi yang dibentuk pemerintah kolonial Jepang di Indonesia pada April 1943.
Ada 2 syarat yang diajukan. Pertama, Soekarno akan memberi belanja kepada kepada Inggit setiap bulan sepanjang hidupnya. Kedua, Soekarno harus membelikan sebuah rumah di Bandung untuk Inggit.
Dalam otobiografinya, Hatta menyatakan, "Aku kira syarat itu tidak berat dan masuk akal. Soalnya ialah siapa yang akan mengawasi bahwa kedua syarat itu akan dilaksanakan oleh Soekarno?"
Waktu berjalan, Kemerdekaan Indonesia tercapai. Soekarno menjadi presiden dan Hatta menjadi wakilnya. Namun, pada 1956, dwitunggal itu bubar.
Visi politik mereka kian jauh berbeda. Ada banyak silang pendirian. Salah satu yang terpokok adalah keinginan Soekarno untuk meruntuhkan demokrasi parlementer, menggantinya dengan sebuah sistem yang disebut demokrasi terpimpin.
Pada 1960, Hatta menulis artikel panjang berjudul Demokrasi Kita. Inilah kritik keras terhadap Soekarno dan kepemimpinannya.
Di antaranya, Hatta menulis, "Bahwa Soekarno seorang patriot jang tjinta pada Tanah Airnya dan ingin melihat Indonesia yang adil dan makmur selekas-lekasnya, itu tidak dapat disangkal...Tjuma, berhubung tabiatnya dan pembawaannya, dalam segala tjiptaannya ia memandang garis besarnja sadja. Hal-hal yang mengenai detail, jang mungkin menjangkut dan menentukan dalam pelaksanaannya, tidak dihiraukannja."
Konon, Soekarno sangat marah dengan tulisan itu. Majalah Pandji Masjarakat yang pertama kali menerbitkannya dibredel. Pemimpin redaksinya, Hamka, ditahan. Hatta jadi sulit menulis di media massa.
Tapi, ia tak berdiam diri. Hatta mengirimkan surat-surat pribadi untuk menyampaikan kritik kepada Soekarno.
Pada 1963, Hatta terkena stroke. Meski secara politik mereka 'bermusuhan', Soekarno datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Ia mendesak agar Hatta mau berobat ke Swedia dengan biaya dari negara.
Hatta bersedia ke Swedia. Soekarno dan Hatta bertemu di Istana sebelum keberangkatan. Sebelum berpisah, Soekarno berujar ke sekretaris pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja,"Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta."
Di Swedia, kondisi Hatta membaik. Setelah pulih, ia berkeliling ke sejumlah negara Eropa dan Amerika untuk berceramah. Tapi, di luar negeri, Hatta menahan diri untuk tak mengkritik Soekarno secara frontal.
Di AS, saat diminta bicara soal Soekarno, Hatta mengatakan, "Dalam banyak hal saya tidak setuju dengan Bung Karno. Tetapi, ia Presiden Republik Indonesia, negeri yang kemerdekaannya saya perjuangkan selama bertahun-tahun...Benar atau salah, ia presiden saya."
Lalu, Orde Lama jatuh. Soekarno dikenakan tahanan rumah. Pada 1970, Guntur Soekarnoputra akan menikah di Bandung. Ayahnya tak bisa mendampingi. Soekarno lalu menyarankan Guntur agar meminta Hatta sebagai wali. Guntur bingung: mungkinkah Hatta mau? Bukankah Hatta dan ayahnya bertentangan?
"Soekarno mengenal Hatta. Hatta bisa saja menyerang dan mencaci maki dirinya karena kebijakan dan tingkah laku politiknya, tetapi dalam kehidupan pribadi, ikatan persaudaraan yang terbentuk selama perjuangan kemerdekaan di antara mereka sudah seperti saudara kandung," tulis Mavis Rose dalam Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta.
Benar saja. Hatta langsung menerima saat Guntur memintanya menjadi wali via telepon.
Lalu, pada Juni 1970, kesehatan Soekarno memburuk. Hatta menjenguk ketika Soekarno tengah tertidur. Tiba-tiba, mata Soekarno terbuka. "Hatta, kamu di sini...," ujarnya.
"Ah, apa kabarmu, No?"
Soekarno menjawab dengan lemah,"Hoe gaat het met jou (apa kabar)?"
Hatta terdiam, memegang tangan Soekarno. Air matanya berlinangan.
Soekarno mencari-cari kaca mata, ingin melihat Hatta dengan lebih jelas. Ia mencoba bicara meski dengan susah payah. Hatta tetap terdiam, coba menahan kesedihan meski gagal.
Dua hari kemudian, 21 Juni 1970, Soekarno wafat. (Yus)
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]