google.com, pub-8027005344017676, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Bung Karno Dan Arif

Sudah sering dan kita ketahui bersama, bahwa cita-cita untuk mendirikan sebuah Republik Indonesia, telah ditebus dengan tumbal darah, airmata dan harta. Namun, berjuang dari balik sebuah kemudi taksi, juga patut kita hormati karena, seorang supir taksi telah turut serta dalam mengambil bagian untuk jalannya Revolusi sebuah negeri.

Soekarno Tahu Gerakan Soeharto


Untuk duduk sebagai seorang presiden sebuah negara mungkin tidaklah sulit, akan tetapi menjadi seorang pemimpin tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk dapat duduk disinggasana kepresidenan bisa didapat melalui dukungan kematangan dan taktik sebuah rencana dan strategi politik. Akan tetapi, untuk dapat menjadi seorang pemimpin sebuah negeri, hal yang paling dibutuhkan adalah kekuatan mental serta kesiapan lahir dan batin dalam menerima segala macam resiko serta kerelaan untuk berkorban waktu, tenaga, jiwa dan raga demi negeri, rakyat dan bangsa yang dipimpinnya secara ikhlas.

Kisah Antara Soekarno dan Onassis

Dalam kunjungan Presiden Soekarno pada Oktober 1964 ke Roma, secara mendadak dan tiba-tiba Soekarno di undang oleh Aristoteles Onassis, seorang miliader kapitalis untuk mampir ke kapal pribadinya yang mewah. Diatas kapal Christina tersebut mereka bertemu, meski sebelumnya, mereka tidak saling mengenal.
Siapa yang merencanakan dan mengatur hingga keduanya dapat bertemu, hal itu masih menjadi misteri hingga sekarang. Namun dari beberapa kabar yang beredar, dapat diambil kesimpulan bahwa, pihak-pihak yang mengatur pertemuan mereka adalah dari golongan seniman. Dikarenakan, selama kunjungan ke Roma tersebut, Ir. Soekarno selalu menyempatkan diri untuk menemui para seniman disana.

Kunjungan Che Guevara ke Indonesia


Tokoh revolusioner Ernesto Che Guevara (14 Juni 1928 – 9 Oktober 1967) pernah berkunjung ke Indonesia? Ya, sang legenda kelahiran Argentina ini mengunjungi Indonesia pada tahun 1959. Pada tahun 1955, Indonesia sebagai negara besar menggagas Konferesi Asia Afrika (KAA), menjadikan bangsa ini amat sangat diperhitungan didunia internasional.

Misteri Kuburan Aidit

Menurut cerita yang berkembang, kuburan Aidit berada di Boyolali, Jawa Tengah. Tempatnya sunyi dan tersembunyi, dipenuhi kerikil-kerikil tajam yang penuh dengan tanaman labu dan ubi jalar disekelilingnya. Pohon mangga dan jambu berada dikanan dan kiri menaungi. Tak terlihat tanda-tanda adanya sumur tua dipekarangan belakang gedung tua itu. Daerah ini dulunya adalah bagian dari kompleks markas  TNI Angkatan Darat, Batalyon 444 di Boyolali, Jawa Tengah.  Meski keadaan pekarangan tersebut sunyi dan hening, namun di tempat itu dulunya pernah ada sumur tua. Tempat dimana jenazah Dipa Nusantara Aidit dibuang.

Ketika Soeharto Tersenyum



Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto bertanya pada Komandan Brigade IV Infanteri, Kolonel Yasir Hadibroto tentang keberadaannya, ketika meletus pemberontakan Madiun 1948. Saat itu, pasukan Kolonel Yasir Hadibroto sedang dipindahkan dari Jawa Barat ke Wonosobo, guna membasmi tiga batalyon kelompok komunis.

Dari Menteng Menuju Gestok

 Sejumlah saksi telah menyampaikan tentang keterlibatan Aidit atas rencana Gerakan 30 September. Apakah D.N Aidit benar-benar terlibat ?..... Dan sejauh manakah keterlibatan Aidit dalam upaya aksi tersebut ?.... Sesungguhnya, apa peran Aidit dalam peristiwa berdarah 30 September 1965, yang masih menyimpan tanda tanya besar. Sebuah tragedi yang memakan jutaan jiwa rakyat tak berdosa. Apakah benar, Aidit menjadi dalang peristiwa berdarah tersebut ?.... Sungguh tragedi berdarah tersebut merupakan pelajaran berharga bagi kita semua, bangsa Indonesia.

Para sejarawan dan orang-orang dikalangan militer meyakini, bahwa aksi yang menimpa ketujuh Jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965 ada keterlibatan PKI, dan Dipa Nusantara Aidit selaku ketua umum Comite Centeral dituduh menjadi otak dibalik peristiwa biadab tersebut.

Trio Komunis Indonesia

Sebanyak sebelas pemimpin utama PKI tewas di ujung bedil. Muso, Amir Syarifuddin dan Maruto Darusman berakhir di terjang peluru di desa Ngalihan-Solo.

Dipa Nusantara Aidit, Njoto dan Lukman berjuang bersama-sama membesarkan partai.Mereka bertiga muncul sebagai tulang punggung Partai Komuns Indonesia. Ketiganya bagaikan trisula PKI, SekJen, Wakjen I dan WakJen II. Njoto disingkirkan karena wanita. Sejarah persahabatan diantara mereka bertiga indah dikenang.

1943, Aidit pertama kali berjumpa dan mengenal Mohammad Hakim Lukman di Menteng 31-Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu dahul dikenal sebagai tempat berkumpulnya para aktivis-aktivis kemerdekaan, mereka tergabung dalam organisasi Gerakan Merdeka. Lukman lebih tua tiga tahun dari Aidit. Saat itu, usia Aidit baru 23 tahun, kemudian Aidit menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka dan Mohammad Hakim Lukman menjadi anggota. Aidi dan Lukman menjadi semakin akrab dan menjalani kehidupan yang sama.

Karir Aidit Berakhir Tragis


Pada tahun 1926, menurut arsitek pemberontakan di Jawa dan Sumatera, seluruh kekuatan sosialis komunis harus dapat dipersatukan. PKI tak boleh bergerak sendiri,untuk merebut kekuasaan. Namun sayang, akhirnya pemerintah Hindia Belanda saat itu melibas mereka.

Paham revolusiner Dipa NusantaraAidit, telah di ubah oleh Muso sebagai sebuah aksi. Mereka berdua pernah mencoba, mereka berdua juga telah gagal. Gairah dan semangat revolusi Aidit menjadi kian berkobar dan menyala, tatkala Muso kembali dari Rusia. Aidit sangat terkesan dengan gagasan Muso tentang "Jalan Baru Bagi Republik".

Aidit Meminang Lewat Surat


Pada suatu siang, di awal tahun 1946, kantor majalah Bintang Merah yang beralamat di Jalan Purnosari-Solo kedatangan tamu tak diundang. Mereka adalah 2 orang tamu wanita yang segera disambut dan di jamu oleh dua orang redaktur majalah yang tak lain adalah Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit. Dua gadis tersebut mengaku sebagai mahasiswi tingkat III Perguruan Tingi Kedokteran di Klaten-Jawa Tengah. Yang berpipi tembem dan agak sedikit bulat montok mengaku bernama Soetanti. Soetanti oleh teman-temannya biasa dipanggil dengan sebutan RONJE (dalam bahasa Belanda yang artinya: bundar). Awalnya mereka berdua datang hanya sekedar silaturahmi saja.  Beberapa hari kemudian, Soetanti mendatangi lagi kantor tersebut bersama teman-temannya lainnya yang berjumlah lebih banyak dari sebelumnya.  Kali ini, kedatangan  mereka atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Lalu mereka mengharap kehadiran Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi Propaganda Partai Komunis Indonesia cabang Solo, untuk memberikan pidato dan dukungan soal politik dan keorganisasian. Akibat dari urusan organisasi tersebut, menyebabkan Soetanti sering hilir mudik Klaten-Solo.