Tak terbantah lagi Bung Karno adalah trend setter terkemuka dalam gaya busana di Indonesia, baik dalam masa pemerintahannya, masa-masa perjuangan politik di zaman penjajahan maupun masa reformasi sekarang ini ketika pengaruh itu masih terasa. Bung Karno malah merupakan penentu bagi tata busana perempuan, khususnya dalam peran Bung Karno memadukan motif-motif klasik pada Batik Kraton dengan corak warna Pesiran dalam format baru yang dikenal sebagai Batik Indonesia, cikal bakal berkembangnya batik sebagai salah satu trend tersendiri dalam dunia fashion.
Kopiah adalah perangkat busana yang dipopulerkan Bung Karno sebagai identitas nasional. Kopiah - asal katanya kaffiyeh yang secara harafiah berarti penutup kepala - pada pertengahan dasawarsa 20an dikenakan oleh kalangan bawah, rakyat jelata di lingkungan Jawa Barat, Jakarta serta pesisir utara pulau Jawa. Ketika Bung Karno membentuk Partai Nasional Indonesia, 4 Juli 1927, dalam suatu rapat pimpinan partai di-usulkannya agar tiap warga PNI mengenakan kopiah sebagai identitas nasional. Usul ini segera diterima secara bulat, meski ada beberapa di antara pimpinan partai - antara lain Ali Sastroamidjojo yang menolak. Segera setelah keputusan itu, kopiah menjadi penutup kepala yang popular di kalangan kaum pergerakan.
Meski mengenakan tata busana Jawa-Eropa - di kepalanya bertengger ikat kepala Jawa - ketika berse-kolah di ELS dan HBS, Bung Karno sudah mengenakan stelan Eropa sejak muda. Ketika kuliah di THS (Technische Hoge School) di Bandung, Bung Karno tampil gundulan alias tidak memakai tutup kepala sama sekali. Namun, dalam deret busana barat yang dimilikinya, tidak ada satu pun yang bergaya kolonial tropikal - stelan safari putih, celana pendek, kaus kaki tinggi dan topi gabus. Bung Karno memilih stelan pantalon-jas-dasi putih dan kopiah hitam, gaya busana yang dikenakannya sampai zaman Jepang dan awal zaman merdeka.
Gaya busana ini mencapai po-pularitas tinggi karena dijadikan standar busana bagi kaum pergerakan di Indonesia. Popularitas tinggi itu juga dicapai berkat seringnya Bung Karno - karena sering diperkarakan oleh pemerintahan kolonial - tampil dalam sosok foto di surat-surat kabar. Bukan cuma itu, sampai dasawarsa 30an, foto-foto Bung Karno dalam pelbagai gaya ditampilkan pada etalase sebuah studio foto terkemuka langganannya di Bandung. Siswi-siswi sekolah MULO di Jl. Sunda, Bandung, sering berlama-lama berdiri di depan etalase tersebut mengagumi sang foto model amatir itu.
Secara umum tata busana para pejuang di zaman revolusi dan perang kemerdekaan 1945-1949 banyak dipengaruhi uniform militer Prancis. Antara lain perwira yang mengenakan celana berkuda dan riding boots, para anggota mengenakan muts hitam berujung runcing. Dalam suasana yang demikian ini, Bung Karno mendefinisikan sendiri tata busana bagi warga sipil yang berjuang. Jas ditampilkan dengan kantung tempel yang empat buah, sementara tanda kepresidenan - bintang bersudut lima dalam lingkaran - disematkan di kedua kelepak. Dengan varian warna yang terbatas - putih, broken white sampai khaki - jadilah tata busana ini - tetap dengan kopiah hitam - pakaian resmi warga sipil di masa perjuangan bersenjata.
Tata busana yang demikian ini - bagi instansi sipil, namun ada secercah uniform militer di dalamnya - bertahan hingga tahun-tahun pertama di Istana Merdeka. Ketika peran Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia makin menonjol, tata busana ini lebih condong ke arah uniform militer dengan pencantuman pita-pita tanda jasa di dada. Namun tidaklah style ini menjadi militeristik karena Bung Karno lebih menempatkannya dalam kategori busana sipil melalui kopiah yang sangat merakyat. Trend yang unik ini - penggabungan elemen-elemen militer dan citra sederhana warganegara kebanyakan - dikembangkan tidak hanya dalam jajaran pemerintahan, namun juga diadaptasi oleh Gerakan Pramuka. Seragam pramuka tidak banyak berbeda dengan seragam boy scouts dan girl guides di negeri-negeri barat, namun pen-cantuman kopiah memberikan citra keindonesiaan yang kental.
Dalam tata busana yang khas Bung Karno ini, sang trend setter tidak berhenti sampai di situ. Bung Karno menghadirkan kembali stelan dengan jas berlengan pendek tanpa dasi yang disalahartikan sebagai safari, sebuah trend yang kemudian diikuti oleh jajaran menteri pada Kabinet Dwikora, para direktur jenderal sampai ke camat dan lurah. Bung Karno juga menghadirkan stelan semi-uniform dalam pelbagai warna. Biru, cokelat, dan abu-abu sesuai kebutuhan pada acara-acara tertentu di kalangan ADRI, AURI dan ALRI, ataupun two-tone jas biru tua dan celana biru muda pada acara pembukaan Games of the New Emerging Forces, GANEFO.
Bung Karno, the trend setter, berperan penting dalam menggalakkan aneka busana daerah ke ajang nasional dan internasional melalui pembentukan barisan Bhineka Tunggal Ika, receiving line pada upacara resmi yang mengenakan ragam kostum khas tersebut.
Olly Ganjar Santosa.
Kopiah adalah perangkat busana yang dipopulerkan Bung Karno sebagai identitas nasional. Kopiah - asal katanya kaffiyeh yang secara harafiah berarti penutup kepala - pada pertengahan dasawarsa 20an dikenakan oleh kalangan bawah, rakyat jelata di lingkungan Jawa Barat, Jakarta serta pesisir utara pulau Jawa. Ketika Bung Karno membentuk Partai Nasional Indonesia, 4 Juli 1927, dalam suatu rapat pimpinan partai di-usulkannya agar tiap warga PNI mengenakan kopiah sebagai identitas nasional. Usul ini segera diterima secara bulat, meski ada beberapa di antara pimpinan partai - antara lain Ali Sastroamidjojo yang menolak. Segera setelah keputusan itu, kopiah menjadi penutup kepala yang popular di kalangan kaum pergerakan.
Meski mengenakan tata busana Jawa-Eropa - di kepalanya bertengger ikat kepala Jawa - ketika berse-kolah di ELS dan HBS, Bung Karno sudah mengenakan stelan Eropa sejak muda. Ketika kuliah di THS (Technische Hoge School) di Bandung, Bung Karno tampil gundulan alias tidak memakai tutup kepala sama sekali. Namun, dalam deret busana barat yang dimilikinya, tidak ada satu pun yang bergaya kolonial tropikal - stelan safari putih, celana pendek, kaus kaki tinggi dan topi gabus. Bung Karno memilih stelan pantalon-jas-dasi putih dan kopiah hitam, gaya busana yang dikenakannya sampai zaman Jepang dan awal zaman merdeka.
Gaya busana ini mencapai po-pularitas tinggi karena dijadikan standar busana bagi kaum pergerakan di Indonesia. Popularitas tinggi itu juga dicapai berkat seringnya Bung Karno - karena sering diperkarakan oleh pemerintahan kolonial - tampil dalam sosok foto di surat-surat kabar. Bukan cuma itu, sampai dasawarsa 30an, foto-foto Bung Karno dalam pelbagai gaya ditampilkan pada etalase sebuah studio foto terkemuka langganannya di Bandung. Siswi-siswi sekolah MULO di Jl. Sunda, Bandung, sering berlama-lama berdiri di depan etalase tersebut mengagumi sang foto model amatir itu.
Secara umum tata busana para pejuang di zaman revolusi dan perang kemerdekaan 1945-1949 banyak dipengaruhi uniform militer Prancis. Antara lain perwira yang mengenakan celana berkuda dan riding boots, para anggota mengenakan muts hitam berujung runcing. Dalam suasana yang demikian ini, Bung Karno mendefinisikan sendiri tata busana bagi warga sipil yang berjuang. Jas ditampilkan dengan kantung tempel yang empat buah, sementara tanda kepresidenan - bintang bersudut lima dalam lingkaran - disematkan di kedua kelepak. Dengan varian warna yang terbatas - putih, broken white sampai khaki - jadilah tata busana ini - tetap dengan kopiah hitam - pakaian resmi warga sipil di masa perjuangan bersenjata.
Tata busana yang demikian ini - bagi instansi sipil, namun ada secercah uniform militer di dalamnya - bertahan hingga tahun-tahun pertama di Istana Merdeka. Ketika peran Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia makin menonjol, tata busana ini lebih condong ke arah uniform militer dengan pencantuman pita-pita tanda jasa di dada. Namun tidaklah style ini menjadi militeristik karena Bung Karno lebih menempatkannya dalam kategori busana sipil melalui kopiah yang sangat merakyat. Trend yang unik ini - penggabungan elemen-elemen militer dan citra sederhana warganegara kebanyakan - dikembangkan tidak hanya dalam jajaran pemerintahan, namun juga diadaptasi oleh Gerakan Pramuka. Seragam pramuka tidak banyak berbeda dengan seragam boy scouts dan girl guides di negeri-negeri barat, namun pen-cantuman kopiah memberikan citra keindonesiaan yang kental.
Dalam tata busana yang khas Bung Karno ini, sang trend setter tidak berhenti sampai di situ. Bung Karno menghadirkan kembali stelan dengan jas berlengan pendek tanpa dasi yang disalahartikan sebagai safari, sebuah trend yang kemudian diikuti oleh jajaran menteri pada Kabinet Dwikora, para direktur jenderal sampai ke camat dan lurah. Bung Karno juga menghadirkan stelan semi-uniform dalam pelbagai warna. Biru, cokelat, dan abu-abu sesuai kebutuhan pada acara-acara tertentu di kalangan ADRI, AURI dan ALRI, ataupun two-tone jas biru tua dan celana biru muda pada acara pembukaan Games of the New Emerging Forces, GANEFO.
Bung Karno, the trend setter, berperan penting dalam menggalakkan aneka busana daerah ke ajang nasional dan internasional melalui pembentukan barisan Bhineka Tunggal Ika, receiving line pada upacara resmi yang mengenakan ragam kostum khas tersebut.
Olly Ganjar Santosa.
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]