Ketika Republik Indonesia ini baru lahir, para pemimpinnya hidup sangat sederhana. Pernyataan kemerdekaan pun berlangsung sederhana: bendera merah-putih hanya digerek di sebatang bambu yang baru saja dipotong. Bendera kebangsaan pun hanya dua potong kain, merah dan putih, yang dijahit sendiri oleh istri Presiden.
Ketika baru saja dilantik menjadi Presiden, Bung Karno hanya merayakannya dengan “lima puluh tusuk sate ayam”. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta pengangkatanku sebagai kepala negara,” kenang Bung Karno dalam buku otobiografi, Soekarno Penyambung Lidah Rakyat.
Ketika itu presiden belum punya mobil kepresidenan. Sudiro, seorang pejuang dan aktivis Menteng 31, mengambil paksa mobil buck besar milik Kepala Jawatan Kereta Api Jepang. Mobil itu sanggup memuat tujuh orang dan merupakan mobil paling mewah di Jakarta saat itu.
Juga, pada saat itu, untuk menyebarkan semangat kemerdekaan kepada rakyat, maka dibikinlah 10 juta bendera merah-putih. Semua bendera itu dibuat dari kertas biasa, lalu diserbakan ke seluruh pelosok tanah air. Saat itu presiden belum menerima gaji. Jangankan untuk membeli pakaian mahal, kebutuhan untuk makan saja kadang tidak memadai. Pernah terjadi, pada suatu malam, Bung Karno dan menteri-menterinya menggelar rapat darurat. Malam sudah larut, tetapi tidak ada kopi dan sepotong roti pun untuk disantap. Tukimin, salah seorang pembantu Bung Karno, mengambil inisiatif untuk keluar mencari makanan.
Lalu, soal pakaian. Jika kita lihat pakaian Bung Karno di era itu, ia tampak gagah dengan uniform semi-militer. Rupanya, sebagian besar pakaian Bung Karno itu dijahit sendiri. Pernah suatu hari Bung Karno mendapat hadiah berupa pakaian bekas milik korp tentara wanita Australia. Ia mempermak sendiri pakaian wanita itu dan mengubahnya menjadi sebuah uniform seorang presiden.
Ketika sekutu dan NICA mulai masuk Jakarta, situasi pun tidak aman. Presiden Soekarno berkali-kali mendapat ancaman pembunuhan, bahkan berkali-kali diberondong peluru. Alhasil, bung Karno dan istrinya harus berpindah-pindah tempat dan kadang-kadang menginap di rumah penduduk.
Soekarno & Cindy Adams |
Kesederhanaan semacam ini bukan hanya terjadi pada Bung Karno. Sebagian besar pemimpin Republik saat itu adalah orang-orang sederhana. Jenderal Soedirman, panglima besar TNI saat itu, hanya menerima pakaian kiriman Bung Karno. Pakaian itu lalu dijahit oleh Soedirman, lalu dipergunakan pada upacara HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1949.
Lihat pula kisah Bung Hatta, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 1950-an, ia sangat ingin memiliki sepatu Bally—sepatu bermutu tinggi saat itu. Karena tidak punya uang yang cukup, Bung Hatta menabung cukup lama untuk bisa membeli sepatu bermerek itu.
Begitulah kesederhanaan para pemimpin Republik saat itu. Akan tetapi, di dalam kesederhanaan itu terdapat semangat dan pengabdian yang sangat besar. Mereka rela berkorban apapun demi bangsa dan rakyatnya.
Mungkin, jika Lord Acton melihat kehidupan pemimpin Indonesia saat itu, ia tidak akan buru-buru mengeluarkan kesimpulan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Sumber
Pesan Bung Karno :
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]