BULAN Mei, Vatikan sedang disiram sengatan matahari terik sepanjang hari di musim panas tahun 1959. Cuaca cukup menyengat untuk ukuran kota Vatikan yang mungil itu. Hari suatu pagi pada Kamis Wage, 14 Mei 1959,6 Dulkangidah 1890 Tahun JIMAKIR Windu SANGARA, 6 Zulkaidah 1378H,Neptu= 12, Wuku= MADANGKUNGAN, Pangarasan= Aras Kembang, Pancasuda= Tunggak Semi, Dina= Dina Kebo, Lintang 12= Lintang Kut (Kuda), Pranotomongso= SODHO , Vatikan kedatangan seorang tamu jauh. Dia datang disambut dengan upacara megah oleh para prajurit berseragam kebesaran ala Eropa abad pertengahan. Bahkan beberapa prajurit senior berpakaian besi seperti serdadu Romawi, karena ini menyambut sebuah kunjungan resmi seorang presiden negara besar ke negara terkecil di dunia.
Bagai seorang pangeran dari “somewhere from the East” dengan gaya berpakaian khas bertopi hitam yang menjadi cirinya di kepala. Dia datang dengan rombongan besar. Mereka tiba dengan 9 mobil yang mengantar mereka untuk beraudiensi dengan Paus Johannes XXIII, pemimpin spiritual umat Katolik sejagat yang bertubuh tambun.
Tepat pukul 7.50, sang tamu dengan berpakaian jas lengkap putih-putih, datang sambil mengempit tongkat kesayangannya di lengan atas tangan kiri. Di lehernya tergantung medali ukiran beruntai kuning emas. Dia tampak seperti sudah biasa datang Ruang Clementine atau Clement VIII Pax V, sebuah ruangan kecil dalam kompleks negara seluas lapangan golf itu, tempat pemimpin Gereja Katolik itu menerima tamu-tamu resminya. Ini kunjungannya kedua ke tempat pusat rohani umat Katolik sebumi setelah 3 tahun.
Tamu itu seorang pemimpin negara berpenduduk umat Islam terbesar sejagat, sowan ke pemimpin umat Katolik juga sejagat. Presiden Soekarno bertamu kepada Paus Johannes XXIII. Sang pemimpin umat Katolik yang bernama Kardinal Angelo Giuseppe Roncalli itu, agak senang mendapat tamu jauh dari sebuah negeri muslim, meski ia belum setahun menduduki tahta suci di Vatikan. Ia memberi penghargaan tinggi kepada tamunya dan juga anggota rombongannya, berupa kotak kecil yang diterima secara bergiliran satu per satu.
Mengapa Soekarno sering berkunjung ke pusat agama Katolik sedunia itu? Sering?
Ya, untuk ukuran dan skala seorang Soekarno, bertandang ke Vatikan dan menemui paus, bisa dibilang sering. Pertemuannya dengan Johannes XXIII adalah yang kedua baginya menemui seorang paus. Sebelumnya pada Rabu 13 Juni 1956, dalam rangka tur keliling dunianya, dia pertama kalinya menginjakkan kaki di Vatikan dan menemui Paus Pius XII, yang juga bangga didatangi seorang pemimpin sebuah negeri muslim dari jauh berantah. Sang tamupun mendapat pujian dan kehormatan atas kedatangannya itu.
Hanya 10 tahun baru memimpin bangsa baru, Soekarno ingin menunjukkan bahwa takdirnya memimpin bangsa sangat majemuk ia jalankan dengan baik. Dia bukan bagai seorang raja atau pangeran yang memimpin negeri homogen dalam budaya dan agama, seperti raja, sultan atau emir di Timur Tengah atau Semenanjung Melayu. Ia ingin berdiri di semua pihak, golongan, agama, budaya dan kepentingan.
“Kami menyambut dengan hangat kedatangan Yang Mulia, dengan mengingatkan kembali kedatangan Yang Mulia menemui pendahulu kami, Paus Pius XII dan Paus Johannes XXIII”, sambutan Paus Paulus VI ketika menerima kedatangan ketiga kalinya Presiden Soekarno ke Vatikan (dan juga menjadi yang terakhir), pada Senin, 12 Oktober 1964.
Soekarno dipuji amat sangat oleh Vatikan, karena memberi sikap yang baik dan bersahabat dengan umat Katolik di Indonesia, seperti yang dikatakan Paus Paulus VI ketika menyambutnya. Setiap dia datang ke Vatikan, dia selalu diberi penghargaan oleh paus. Prestasi ini tak pernah terjadi kepada pemimpin dari negeri muslim manapun di dunia. Ini yang selalu membanggakan seorang tokoh budayawan, rohaniawan Katolik yang juga arsitek markas ABRI di Cilangkap, Romo Mangunwijaya. Ia selalu memuja penghargaan Soekarno sebagai pemimpin negeri muslim dari Vatikan, sebagai hal pertama dalam 2000 tahun sejarah Gereja Roma Katolik.
“Aku orang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan”, katanya dalam otobiografi yang ditulis ratu gosip AS Cindy Adams. Perhargaan ini membuat iri Presiden Irlandia Eamon de Valera, yang negerinya punya 88% umat Katolik. “Saya saja punya satu penghargaan”, katanya saat berjumpa dengan Soekarno.
API BUKAN ABU
Bagi Soekarno, umat Katolik dan kristiani umumnya, bukan hal yang asing baginya. Jauh sebelum dia menjadi pemimpin, persinggungan dengan orang-orang Katolik sudah terjadi. Ketika dipenjara di Sukamiskin, Bandung, dia banyak membaca tulisan-tulisan van Lith, seorang tokoh Katolik yang meletakkan dasar ajaran Katolik di tanah Jawa. Van Lith punya dua murid kesayangan, yang juga menjadi lebih dari sahabat bagi Soekarno, yaitu Mgr. Soegijapranata dan IJ Kasimo.
Ketika dia dibuang ke Ende, Flores, Soekarno banyak memuji cara kerja dan sistem manajemen orang-orang Katolik di pulau itu, yang memang menjadi mayoritas. Ia kadang mengkritik keras cara berpikir orang-orang Islam masa itu, yang terlalu mengurusi asesoris daripada esensi ajaran Islam, yang makin menjauhkan umat Islam dari modernitas. “Ambil apinya dari Islam, bukan abunya”, katanya mengkritik. Soekarno saat itu menggagumi buku ‘Spirit of Islam’ karya Syed Amir dari London, yang isinya ingin membangunkan umat Islam dari tidur panjang.
Pada jaman kemerdekaan, keluarga Soekarno ternyata bersahabat baik dengan Soegijapranata, murid van Lith, tokoh yang dikaguminya. Sewaktu Belanda menyerang ibukota negara di Jogjakarta, 18 Desember 1948, istrinya disembunyikan oleh Soegijapranata di rumahnya di tepi barat Kali Code, dari kejaran militer Belanda. Sedangkan Soekarno diibuang ke Prapat, Sumatera Utara. Saat ketakutan itu, istrinya punya batita dan bayi yang belum setahun, Megawati.
Ketika Soegijapranata wafat, Soekarno menjadikannya pahlawan nasional dan mengirim pesawat khusus untuk menjemput jenazahnya di Belanda. Setelah itu, istrinya Fatmawati meratapi kepergian paderi Katolik pribumi pertama itu dengan tangisan tiada henti.
HAMPA 28 TAHUN
Intensitas kunjungan Soekarno ke Vatikan sangat unik. Jarang ada seorang pemimpin dunia, apalagi dari negeri Islam, menemui tiga paus yang berbeda dalam kurun singkat, 8 tahun! Namun itu tidak diimbangi dengan kedatangan paus ke negerinya selama ia menjadi presiden. Ini sangat wajar, karena belum menjadi trend seorang paus pergi ke keliling dunia pada masa itu, seperti yang ditunjukkan Paus Johannes Paulus II.
Setelah dia tak berkuasa, baru pada 3 Desember 1970, Indonesia dikunjungi seorang paus pertama kalinya. Kedatangan Paus Paulus VI yang menjadi tamu Presiden Soeharto adalah untuk membalas kunjungan berkali-kali Soekarno ke Vatikan. Dan sejak itu, ada semacam tradisi setiap presiden Indonesia ‘harus’ beraudiensi dengan paus.
Selama berkuasa 32 tahun, Soeharto hanya sekali ke Vatikan bersama istrinya pada Sabtu 25 November 1972 menemui Paus Paulus VI. Dia enggan datang mampir bertemu Paus Johannes Paulus II ketika ada di Roma pada November 1985 untuk menerima penghargaan FAO karena prestasinya dalam ketahanan pangan. Menjadi kebiasaan, bila seorang kepala negara datang ke Roma, pasti menyempatkan ke Vatikan yang letaknya di dalam biota Italia.
Masalah gereja Katolik di Timor Timur yang langsung di bawah kendali Vatikan, menjadi isu kurang menarik baginya bila didiskusikan dengan paus. Ia menginginkan umat Katolik di Timor Timur langsung dibawa kendali Jakarta, tapi hal itu ditolak hingga propinsi kesayangan tersebut lepas menjadi negara merdeka. Namun beruntung Paus Johannes Paulus II tidak mencium bumi Timor Timur, ketika dia datang ke Indonesia pada 9 Oktober 1989, ketika menjadi tamu Soeharto. Kalau itu terjadi, sama saja mengakui propinsi itu sebagai negara terpisah dari Jakarta.
Sejak 1972, hampir 28 tahun lamanya, tidak ada seorang presiden Indonesia pun yang datang Vatikan. Barulah kebekuan itu mencair ketika Presiden Abdurrahman Wahid menemui Paus Johannes Paulus II pada Sabtu 5 Februari 2000, yang kondisinya sudah agak sakit-sakitan. Pada pertemuan bersejarah itu, ada kejadian janggal. Biasanya seorang wanita yang bertemu paus ‘wajib’ mengenakan gaun hitam. Namun Ibu Shinta Wahid memakai gaun putih cerah.
Kedatangan Wahid diikuti oleh penggantinya, Presiden Megawati Soekarnoputri menemui tuan rumah yang sama pada Senin 10 Juni 2002. Inilah terakhir kali seorang presiden Indonesia datang ke Vatikan. “God Bless Indonesia”, kata paus kepada Megawati sebelum pamit.
DISAYANG GEREJA DICINTAI MUSLIM
Meski Soekarno sangat disayangi oleh Vatikan, tidak menjauhi dia dari dunia Islam. Justru sebaliknya, dia dianggap pahlawan Islam oleh komunitas muslim dunia. Organisasi internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika menjulukinya Amirulmukminin. (pemimpin umat Islam). Anehnya, julukkan itu bukan untuk raja-raja Islam di Timur Tengah yang sangat kental dengan keislamannya.
Dia hanya ingin menunjukkan sebuah contoh kepada dunia, bahwa Indonesia adalah landskap indah sebuah negara majemuk, yang menjadi tempat damai bagi semua golongan apapun. Para penggantinya, berusaha sebaik mungkin menunjukkan kepada dunia upaya seperti itu, meski tidak sesempurnya dia. Tetapi citra Indonesia sebagai negara yang damai bagi semua golongan terawat rapi selama pemerintahan Soeharto, yang selalu memakai Pancasila untuk melegalkan segala tindakannya demi menjaga kerukunan hidup beragama.
Kehebatannya itu pernah dipuji oleh Paus Johannes Paulus II di depan Soeharto. “Falsafah Pancasila telah menjadi nakhoda bagi negeri ini untuk mengakui bahwa hanya satu landasan utama bagi persatuan nasional yang menghormati perbedaan apapun yang ada pada masyarakat majemuk Indonesia”.
Soeharto merawat kerukunan hidup beragama itu dengan cara mencampur pemerintahan bergaya Jawa yang sulit ditebak dan otot kekerasan militer. Resep terakhir diperuntukkan bagi pihak yang “coba-coba” merusak SARA (suku, agama, ras dan antara golongan) di negeri ini.
Saya agak geram, mengapa Saudi Arabia menjadi sponsor konferensi dialog Islam dan barat pada akhir 2007? Padahal negeri itu sangat tidak ramah bagi pemeluk non-Islam dan hak wanita serta minoritas. Mungkin saja karena Raja Abdullah yang menjadi sponsor utama dialog itu, punya ‘minyak pelet’ pada dunia barat, yaitu cadangan minyaknya. Sedangkan Indonesia, tak ada yang bisa dibanggakan untuk itu. Seharusnya, peran itu dijalankan oleh Indonesia. Kita pernah punya pemimpin yang bisa membuktikan peran tersebut.
Memang agak aneh, setelah Soeharto turun dari kekuasaan, kerukunan beragama sedikit terganggu yang dipicu oleh pihak tertentu. Mulailah subur tumbuh pertikaian horisontal antara masyarakat beragama yang menodai wajah Indonesia di mata dunia. Sebagian umat beragama minoritas mengalami kesulitan dalam banyak hal dalam menjalankan ibadah mereka. Mengapa ini bisa terjadi? Dan mengapa pada saat Indonesia hidup dalam tirani, kerukunan justru terjaga meski terkesan seperti “menyimpan abu dibalik karpet”?
Ada yang salah dengan demokrasi?
Yang bisa jawab hanya ‘anak ideologi’ Soekarno
Bagai seorang pangeran dari “somewhere from the East” dengan gaya berpakaian khas bertopi hitam yang menjadi cirinya di kepala. Dia datang dengan rombongan besar. Mereka tiba dengan 9 mobil yang mengantar mereka untuk beraudiensi dengan Paus Johannes XXIII, pemimpin spiritual umat Katolik sejagat yang bertubuh tambun.
Tepat pukul 7.50, sang tamu dengan berpakaian jas lengkap putih-putih, datang sambil mengempit tongkat kesayangannya di lengan atas tangan kiri. Di lehernya tergantung medali ukiran beruntai kuning emas. Dia tampak seperti sudah biasa datang Ruang Clementine atau Clement VIII Pax V, sebuah ruangan kecil dalam kompleks negara seluas lapangan golf itu, tempat pemimpin Gereja Katolik itu menerima tamu-tamu resminya. Ini kunjungannya kedua ke tempat pusat rohani umat Katolik sebumi setelah 3 tahun.
Tamu itu seorang pemimpin negara berpenduduk umat Islam terbesar sejagat, sowan ke pemimpin umat Katolik juga sejagat. Presiden Soekarno bertamu kepada Paus Johannes XXIII. Sang pemimpin umat Katolik yang bernama Kardinal Angelo Giuseppe Roncalli itu, agak senang mendapat tamu jauh dari sebuah negeri muslim, meski ia belum setahun menduduki tahta suci di Vatikan. Ia memberi penghargaan tinggi kepada tamunya dan juga anggota rombongannya, berupa kotak kecil yang diterima secara bergiliran satu per satu.
Mengapa Soekarno sering berkunjung ke pusat agama Katolik sedunia itu? Sering?
Ya, untuk ukuran dan skala seorang Soekarno, bertandang ke Vatikan dan menemui paus, bisa dibilang sering. Pertemuannya dengan Johannes XXIII adalah yang kedua baginya menemui seorang paus. Sebelumnya pada Rabu 13 Juni 1956, dalam rangka tur keliling dunianya, dia pertama kalinya menginjakkan kaki di Vatikan dan menemui Paus Pius XII, yang juga bangga didatangi seorang pemimpin sebuah negeri muslim dari jauh berantah. Sang tamupun mendapat pujian dan kehormatan atas kedatangannya itu.
Hanya 10 tahun baru memimpin bangsa baru, Soekarno ingin menunjukkan bahwa takdirnya memimpin bangsa sangat majemuk ia jalankan dengan baik. Dia bukan bagai seorang raja atau pangeran yang memimpin negeri homogen dalam budaya dan agama, seperti raja, sultan atau emir di Timur Tengah atau Semenanjung Melayu. Ia ingin berdiri di semua pihak, golongan, agama, budaya dan kepentingan.
“Kami menyambut dengan hangat kedatangan Yang Mulia, dengan mengingatkan kembali kedatangan Yang Mulia menemui pendahulu kami, Paus Pius XII dan Paus Johannes XXIII”, sambutan Paus Paulus VI ketika menerima kedatangan ketiga kalinya Presiden Soekarno ke Vatikan (dan juga menjadi yang terakhir), pada Senin, 12 Oktober 1964.
Soekarno dipuji amat sangat oleh Vatikan, karena memberi sikap yang baik dan bersahabat dengan umat Katolik di Indonesia, seperti yang dikatakan Paus Paulus VI ketika menyambutnya. Setiap dia datang ke Vatikan, dia selalu diberi penghargaan oleh paus. Prestasi ini tak pernah terjadi kepada pemimpin dari negeri muslim manapun di dunia. Ini yang selalu membanggakan seorang tokoh budayawan, rohaniawan Katolik yang juga arsitek markas ABRI di Cilangkap, Romo Mangunwijaya. Ia selalu memuja penghargaan Soekarno sebagai pemimpin negeri muslim dari Vatikan, sebagai hal pertama dalam 2000 tahun sejarah Gereja Roma Katolik.
“Aku orang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan”, katanya dalam otobiografi yang ditulis ratu gosip AS Cindy Adams. Perhargaan ini membuat iri Presiden Irlandia Eamon de Valera, yang negerinya punya 88% umat Katolik. “Saya saja punya satu penghargaan”, katanya saat berjumpa dengan Soekarno.
API BUKAN ABU
Bagi Soekarno, umat Katolik dan kristiani umumnya, bukan hal yang asing baginya. Jauh sebelum dia menjadi pemimpin, persinggungan dengan orang-orang Katolik sudah terjadi. Ketika dipenjara di Sukamiskin, Bandung, dia banyak membaca tulisan-tulisan van Lith, seorang tokoh Katolik yang meletakkan dasar ajaran Katolik di tanah Jawa. Van Lith punya dua murid kesayangan, yang juga menjadi lebih dari sahabat bagi Soekarno, yaitu Mgr. Soegijapranata dan IJ Kasimo.
Ketika dia dibuang ke Ende, Flores, Soekarno banyak memuji cara kerja dan sistem manajemen orang-orang Katolik di pulau itu, yang memang menjadi mayoritas. Ia kadang mengkritik keras cara berpikir orang-orang Islam masa itu, yang terlalu mengurusi asesoris daripada esensi ajaran Islam, yang makin menjauhkan umat Islam dari modernitas. “Ambil apinya dari Islam, bukan abunya”, katanya mengkritik. Soekarno saat itu menggagumi buku ‘Spirit of Islam’ karya Syed Amir dari London, yang isinya ingin membangunkan umat Islam dari tidur panjang.
Pada jaman kemerdekaan, keluarga Soekarno ternyata bersahabat baik dengan Soegijapranata, murid van Lith, tokoh yang dikaguminya. Sewaktu Belanda menyerang ibukota negara di Jogjakarta, 18 Desember 1948, istrinya disembunyikan oleh Soegijapranata di rumahnya di tepi barat Kali Code, dari kejaran militer Belanda. Sedangkan Soekarno diibuang ke Prapat, Sumatera Utara. Saat ketakutan itu, istrinya punya batita dan bayi yang belum setahun, Megawati.
Ketika Soegijapranata wafat, Soekarno menjadikannya pahlawan nasional dan mengirim pesawat khusus untuk menjemput jenazahnya di Belanda. Setelah itu, istrinya Fatmawati meratapi kepergian paderi Katolik pribumi pertama itu dengan tangisan tiada henti.
HAMPA 28 TAHUN
Intensitas kunjungan Soekarno ke Vatikan sangat unik. Jarang ada seorang pemimpin dunia, apalagi dari negeri Islam, menemui tiga paus yang berbeda dalam kurun singkat, 8 tahun! Namun itu tidak diimbangi dengan kedatangan paus ke negerinya selama ia menjadi presiden. Ini sangat wajar, karena belum menjadi trend seorang paus pergi ke keliling dunia pada masa itu, seperti yang ditunjukkan Paus Johannes Paulus II.
Setelah dia tak berkuasa, baru pada 3 Desember 1970, Indonesia dikunjungi seorang paus pertama kalinya. Kedatangan Paus Paulus VI yang menjadi tamu Presiden Soeharto adalah untuk membalas kunjungan berkali-kali Soekarno ke Vatikan. Dan sejak itu, ada semacam tradisi setiap presiden Indonesia ‘harus’ beraudiensi dengan paus.
Selama berkuasa 32 tahun, Soeharto hanya sekali ke Vatikan bersama istrinya pada Sabtu 25 November 1972 menemui Paus Paulus VI. Dia enggan datang mampir bertemu Paus Johannes Paulus II ketika ada di Roma pada November 1985 untuk menerima penghargaan FAO karena prestasinya dalam ketahanan pangan. Menjadi kebiasaan, bila seorang kepala negara datang ke Roma, pasti menyempatkan ke Vatikan yang letaknya di dalam biota Italia.
Masalah gereja Katolik di Timor Timur yang langsung di bawah kendali Vatikan, menjadi isu kurang menarik baginya bila didiskusikan dengan paus. Ia menginginkan umat Katolik di Timor Timur langsung dibawa kendali Jakarta, tapi hal itu ditolak hingga propinsi kesayangan tersebut lepas menjadi negara merdeka. Namun beruntung Paus Johannes Paulus II tidak mencium bumi Timor Timur, ketika dia datang ke Indonesia pada 9 Oktober 1989, ketika menjadi tamu Soeharto. Kalau itu terjadi, sama saja mengakui propinsi itu sebagai negara terpisah dari Jakarta.
Sejak 1972, hampir 28 tahun lamanya, tidak ada seorang presiden Indonesia pun yang datang Vatikan. Barulah kebekuan itu mencair ketika Presiden Abdurrahman Wahid menemui Paus Johannes Paulus II pada Sabtu 5 Februari 2000, yang kondisinya sudah agak sakit-sakitan. Pada pertemuan bersejarah itu, ada kejadian janggal. Biasanya seorang wanita yang bertemu paus ‘wajib’ mengenakan gaun hitam. Namun Ibu Shinta Wahid memakai gaun putih cerah.
Kedatangan Wahid diikuti oleh penggantinya, Presiden Megawati Soekarnoputri menemui tuan rumah yang sama pada Senin 10 Juni 2002. Inilah terakhir kali seorang presiden Indonesia datang ke Vatikan. “God Bless Indonesia”, kata paus kepada Megawati sebelum pamit.
DISAYANG GEREJA DICINTAI MUSLIM
Meski Soekarno sangat disayangi oleh Vatikan, tidak menjauhi dia dari dunia Islam. Justru sebaliknya, dia dianggap pahlawan Islam oleh komunitas muslim dunia. Organisasi internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika menjulukinya Amirulmukminin. (pemimpin umat Islam). Anehnya, julukkan itu bukan untuk raja-raja Islam di Timur Tengah yang sangat kental dengan keislamannya.
Dia hanya ingin menunjukkan sebuah contoh kepada dunia, bahwa Indonesia adalah landskap indah sebuah negara majemuk, yang menjadi tempat damai bagi semua golongan apapun. Para penggantinya, berusaha sebaik mungkin menunjukkan kepada dunia upaya seperti itu, meski tidak sesempurnya dia. Tetapi citra Indonesia sebagai negara yang damai bagi semua golongan terawat rapi selama pemerintahan Soeharto, yang selalu memakai Pancasila untuk melegalkan segala tindakannya demi menjaga kerukunan hidup beragama.
Kehebatannya itu pernah dipuji oleh Paus Johannes Paulus II di depan Soeharto. “Falsafah Pancasila telah menjadi nakhoda bagi negeri ini untuk mengakui bahwa hanya satu landasan utama bagi persatuan nasional yang menghormati perbedaan apapun yang ada pada masyarakat majemuk Indonesia”.
Soeharto merawat kerukunan hidup beragama itu dengan cara mencampur pemerintahan bergaya Jawa yang sulit ditebak dan otot kekerasan militer. Resep terakhir diperuntukkan bagi pihak yang “coba-coba” merusak SARA (suku, agama, ras dan antara golongan) di negeri ini.
Saya agak geram, mengapa Saudi Arabia menjadi sponsor konferensi dialog Islam dan barat pada akhir 2007? Padahal negeri itu sangat tidak ramah bagi pemeluk non-Islam dan hak wanita serta minoritas. Mungkin saja karena Raja Abdullah yang menjadi sponsor utama dialog itu, punya ‘minyak pelet’ pada dunia barat, yaitu cadangan minyaknya. Sedangkan Indonesia, tak ada yang bisa dibanggakan untuk itu. Seharusnya, peran itu dijalankan oleh Indonesia. Kita pernah punya pemimpin yang bisa membuktikan peran tersebut.
Memang agak aneh, setelah Soeharto turun dari kekuasaan, kerukunan beragama sedikit terganggu yang dipicu oleh pihak tertentu. Mulailah subur tumbuh pertikaian horisontal antara masyarakat beragama yang menodai wajah Indonesia di mata dunia. Sebagian umat beragama minoritas mengalami kesulitan dalam banyak hal dalam menjalankan ibadah mereka. Mengapa ini bisa terjadi? Dan mengapa pada saat Indonesia hidup dalam tirani, kerukunan justru terjaga meski terkesan seperti “menyimpan abu dibalik karpet”?
Ada yang salah dengan demokrasi?
Yang bisa jawab hanya ‘anak ideologi’ Soekarno
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersemboyan, Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar bersama di taman sari Indonesia.
[Pidato HUT Proklamasi, 1964_Soekarno]