google.com, pub-8027005344017676, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 4


HALAMAN 1
HALAMAN 2
HALAMAN 3

"Saya mengarahkan senjata dan dor.....". Penembak itu adalah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa. Sersan Mayor adalah pangkat terakhirnya sebelum ia mendekam selama 33 tahun di LP. Cipinang, Jakarta. Menurut anak kedua Boengkoes yang bernama Hernawati, ayaknya sudah tak berdaya selama enam bulan akibat serangan stroke. Ia mengalami kesulitan berbicara dan sepasang kaki dan tangannya separuh lumpuh. Boengkoes terbaring lemah di rumah anak ke empatnya, Juwartinah yang bersebelahan dengan rumah Hernawati di Jalan PG Demaas, Kalak, Kec. Besuki Situbondo Jawa Timur.

Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 3


HALAMAN 1
HALAMAN 2
Saat mengemban tugas di Cadangan Umum inilah, Boengkoes terpilih untuk menjadi bagian dari Banteng Raiders I di Magelang. Tak berselang lama, ia pun direkrut dan bergabung bersama pasukan Tjakrabirawa. Menurut pengakuan Boengkoes kepada Ben, meskipun Boengkoes sudah bersama Untung di Banteng Raiders, tetapi mereka baru bisa bertemu ketika sudah berada di Jakarta. "Saya belum kenal Untung, waktu di Srondol", kata Boengkoes.

Meski Boengkoes menderita disentri dan wasir, tetapi tidak membuatnya kesulitan saat mendaftar jadi Tjakrabirawa. Meski penyakitnya tersebut sudah disampaikannya, tetapi esoknya Boengkoes malah dikabari bahwa dirinya sehat. Hal yang membahagiakan Boengkoes saat itu adalah ada ratusan personel Banteng Raiders yang lolos seleksi. Jumlah mereka dari Jawa Tengah, yang lolos seleksi adalah yang terbesar dan cukup untuk membentuk satuan kompi. Tugas utama mereka adalah berjaga di istana kepresidenan, menggantikan Polisi Militer yang sudah ada sebelumnya.

Boengkoes pun mengatakan kepada Ben Anderson bahwa Doel Arief adalah teman sehidup semati. Mereka sering ngobrol dalam bahasa daerah Madura. Menurut cerita Boengkoes, dahulu kala ia bersama Doel Arief pernah menyusuri pasar senen Jakarta dan terdapat sebuah warung es cendol asal Pasuruan yang terdapat dua gadis cantik membantu pedagang disana.

"Kami duduk berbincang dan membicarakan kedua gadis tersebut menggunakan bahasa Madura. Tiba-tiba mereka tersenyum karena mengerti apa yang mereka bicarakan. Ternyata pedagang cendol tersebut ternyata mengaku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur. Wah, mati aku", ujar Boengkoes.

Keanehan setelah peristiwa berdarah 30 September 1965 masih menyisakan misteri hingga hari ini. Setelah kejadian itu, Doel Arief dan Djahurup hilang tak berbekas. Heru mengatakan bahwa setelah terjadinya malam berdarah tersebut, sejumlah 60 personel anggota Batalyon I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa melarikan diri ke Jawa Tengah.

Batalyon yang melarikan tersebut dihadang pasukan CPM saat tiba di Cirebon. Menurut Wakil komandan Rezimen Tjakrabirawa Maulwi Saelan, awalnya mereka sengaja singgah ke asrama TNI Cirebon dikarenakan tidak membawa perbekalan makanan. Atas laporan salah seorang prajurit yang saat itu berada diasrama tersebut, Maulwi Saelan memerintahkan untuk menahan mereka terlebih dahulu. "Saya perintahkan mereka untuk ditahan dahulu. Pasukan dari Jakarta yang akan menjemput mereka".


Akan tetapi, Doel Arief dan Djahurup lenyap hilang tak berbekas. Selanjutnya, dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa yang digelar pada tahun 1966, hanya Kopral Hardiono selaku bawahan Doel Arief sajalah yang dihadirkan dan dituduh bertanggung awab atas penculikan para jenderal itu.

Doel Arief dan Djahurup yang tidak bisa dhadirkan dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa tersebut, menuai banyak tanya. Apakah mereka berdua disembunyikan oleh Ali Moertopo ?..... Entahlah, jawab Heru Atmodjo.

BERSAMBUNG KE HALAMAN 4

Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 2

HALAMAN 2

Menurut Ben Anderson, makalah ini semakin melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Setahun setelah peristiwa berdaran 1965, bersama Ruth Mc Vevy dan Fred Bunnel, Ben menulis Cornell Paper. Ketika itu, Ben mengira bahwa yang terlibat dalam peristiwa tersebut kesemuanya bukan orang-orang dari suku Jawa. Hampir kesemua prajurit Tjakrabirawa yang terlibat dalam peristiwa tersebut adalah orang-orang berdarah Madura, termasuk pimpinan yang memberi perintah juga berdarah Madura.

Doel Arief selaku pimpinan pasukan atas terjadinya insiden penculikan dan pembunuhan pada hari Kamis, 30 September 1965 tersebut adalah juga berdarah Madura. Tak hanya itu, Doel Arief juga orang yang dekat dengan Ali Moertopo, intelejen Soeharto. Doel Arief dan Ali Moertopo saling mengenal ketika masih di Banteng Raiders, yaitu pada tahun 1950-an ketika mereka sama-sama berperang menumpas Darul Islam di Jawa Tengah pimpinan Kartosuwiryo.

Tentang kedekatan antara Doel Arief dan Ali Moertopo juga dibenarkan oleh Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo. Letkol Heru Atmodjo inipun juga berdarah Madura dan di ikut sertakan dalam Dewan Revolusi. Doel Arief itu adalah anak angkat dari Ali Moertopo, kata Heru Atmodjo menjelaskan.

Pengakuan Mantan Prajurit Tjakrabirawa 1

Ditemukan bukti-bukti indikasi oleh Benedictus Anderson tentang pelaku lapangan yang bertindak sebagai algojo yang bertugas menculik dan menghabisi para jenderal adalah berasal dari kelompok Madura, yang beberapa diantaranya sudah dikenal baik sejak tahun 1950-an baik salah seorang intelejen Soeharto, yaitu Ali Moertopo.

Seorang pria tua yang sedang duduk menyandar disebuah ranjang besi tua. Usianya sudah terbilang tua, dengan kepayahan dia memasukkan makanan kedalam mulut kempotnya. Pria tua bernama Boengkoes yang berusia 82-an tahun tersebut, tampak lemah tak berdaya diatas dipan usangnya akibat mengalami Stroke. Bekas prajurit bintara Tjakrabirawa itu kini tinggal dirumah anaknya di daerah Besuki, Situbondo-Jawa Timur. Boengkoes yang merupakan salah satu diantara algojo dalam peristiwa berdarah 30 September 1965 tersebut kini hanya pasrah dengan penyakit dan keadaan yang menimpanya, sambil menunggu maut menjemput dirinya.

Pria yang memiliki darah keturunan Madura itu berpangkat sersan mayor, yang pada peristiwa berdarah September 1965 lalu mendapat tugas untuk membawa paksa Mayor Jenderal M.T Harjono, Deputi III Menteri/ Panglima Angkatan Darat.

CIA Mengincar Soekarno I


Sabtu , 7 Desember 1957, sekitar pukul 19.39 panglima tertinggi Angkatan Laut Amerika Serikat yang bertugas di Asia Pasifik, Felix Stump mendapat perintah melalui pesan radio dari Laksamana Arleigh Burke, seorang kepala operasi Angkatan Laut . Isi daripada pesan radio tersebut adalah, bahwa dalam waktu empat jam kedepan, pasukan yang ditugaskan di Teluk Subic-Filipina, mulai bergerak menuju ke arah selatan, yaitu perairan Indonesia. Dan himbauan untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang ada, dikarenakan keadaan Indonesia dalam empat jam kedepan akan menjadi lebih kritis. Kurang lebih begitulah isi dari telegram radio tersebut.

CIA MENGINCAR SOEKARNO II


HALAMAN I

Bagi Amerika Serikat, inilah kesempatan jitu untuk melaksanakan rencana III untuk mengintervensi militer terbuka di Republik Indonesia.  Presiden Soekarno harus segera dilenyapkan dengan segera. Dibawah Allen Dulles, CIA telah merencanakan dengan matang strategi dan taktik licik.  Dengan mempergunakan jaringannya yang berada di Singapura, Jakarta dan London, agen-agen CIA berkali-kali melakukan komunikasi khusus dengan Sumitro Djojohadikusumo, sang pencari dana untuk pemberontakan. Dan juga perwira yang memiliki mental pembangkang Kolonel Simbolon, Kolonel Fence Sumual. Dan masalah ini juga telah di jabarkan oleh Audrey R Kahim dan George Mc T Kahim dalam bukunya, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri.
Saat perintak memberangkatkan armada VII di keluarkan, keputusan tersebut tampak tergesa-gesa. Karena kurang dari dua jam sebelum pasukan tempur tiba, percakapan melalui telepon antara presiden Amerika Serikat, Eisenhower dan Menlu John Foster Dulles tampak seperti mengalami kepanikan dan kebingungan.  Bingung untuk menjawab nantinya, atas dasar apa, intervensi tersebut dilakukan oleh Amerika Serikat ?.....
Inggris selaku sekutu dekat Amerika Serikat, sempat tidak setuju dan menolak hal tersebut, hingga akhirnya kapal-kapal perang tersebut berbalik kembali ke pangkalan nya. Tetapi, setelah Amerika melakukan pendekatan secara intersif, hingga pada akhirnya pada hari Senin, 23 Desember 1957 Harold Macmillan selaku Perdana Menteri Inggris menyetujui dan menjalin kerjasama, sebuah operasi untuk menggempur Indonesia, menumbangkan presiden Soekarno.
Akhirnya, Gedung putih Amerika Serikat, pada pertengahan tahun 1958 mengakui kegagalannya menegakkan demokrasi dan membendung arus komunisme yang melanda Indonesia saat itu. KSAD Jenderal TNI AH. Nasution yang dikenal Amerika Serikat sebagai orang yang anti terhadap komunisme, telah bergerak diluar perkiraan mereka. 

KSAD Jenderal TNI AH. Nasution berhasil menerjunkan pasukannya dan merebut bandara Sultan Sjahrir Kasim di Pekan Baru, Riau-Sumatera. Mulai dari pantai timur  marinir di siagakan, guna memotong pertahanan PRRI Permesta. Ahirnya, Dumai yang tadinya dikuasai oleh kolonel pembangkang, berhasil direbut oleh pasukan TNI dibawah komando Jenderal Nasution.

Pasukan pembangkang yang dipimpin oleh Kolonel Akhmad Husein pun akhirnya pergi melarikan diri meninggalkan semua alat tempur, termasuk senjati anti serangan udara yang kala itu belum sempat digunakan, karena mereka tidak menduga akan adanya serangan tersebut. Pesan rahasia yang disampaikan Armada VII untuk supaya segera di hancurkan, tidak lagi di gubris. Padahal, ladang minyak Caltex inilah yang kelak dapat dijadikan alasan intervensi Amerika ke Indonesia. Sejumlah dua batalyon marinir Amerika Serikat sudah bersiap siaga dan kurang dari 12 jam, marinir Amerika ini akan segera tiba di Dumai. Sejak saat itu, tamatlah PRRI yang digerakkan oleh para kolonel pemberontak serta tokoh PSI dan Masyumi, dan Pentagon Amerika pun tercengang dengan ulah nekat KSAD Jenderal TNI AH. Nasution.
Meski pasukan PRRI semakin teresak, Sumito Djoohadikusumo selaku wakil PRRI yang kala itu sedang berada di pengasingan, tetap merasa optimis. TNI bererak dan berhasi merebt kota dei kota, hingga pada akirnya, PRRI selaku pemberotak hanya mampu melakukan perlawanan secara bergerilya secara terbatas. Ditambah lagi, semakin berkurangnya dukungan rakyat kepada pasukan-pasukan penghianat, hingga akhirnya terjadi perpecahan dari dalam tubuh PRRI.
CIA Amerika Serikat gagal karena salah melangkah, atas rujukan CIA pula, Amerika Serikat berhasil mengirimkan 8.000 pucuk senjata api yang rencananya bisa di gunakan oleh PRRI Permesta. Kiriman ini belm berupa senjata-senjata berat seperti senapan mesin, mortir meriam,senjata ant udara dan senjata anti tank, mash banyak lagi senjata-senjata dan bahan peledak yang lainnya. Amerika juga berasil merekrut dan memberikan pelatihan kepada sejumlah prajurit Dewan Banteng dan Dewan Gajah, yang di berangkatkan menggunakan kapal selam, menuju pangkalan militernya di Okinawa, Jepang. Meski latihan militer yang disiplin serta didukung oleh sistem persenjataan modern kala itu, tetap bukanlah jaminan untuk meraih kemenangan dalam menghadapi pertempuran yang sesungguhnya.
Presiden Eisenhower semakin geram, karena kelompok PRRI Permesta yang disebutnya sebagai "PATRIOT" itu semakin terhimpit dengan nafas yang makin tersengal-sengal. Tetapi, CIA dan intel Angkatan Laut Amerika tetap meyakinkan dengan berita-berita palsu dan keliru. Laporan mereka menyebutkan bahwa jika tidak diteruskan memberikan bantuan persenjataan maka, komunis akan segera menguasai Malaya, Thailand, Kamboja dan Laos, dan ini sangat berbahaya bagi dunia barat. Untuk menangkal hal tersebut Amerika tetap harus mengirimkan bantuan persenjataan untuk dapat digunakan oleh pasukan pemberontak anti komunis di dunia timur, khususnya untuk PRRI Permesta di wilayah Sulawesi Utara, Indonesia.

Akibat kekalahan perang, PRRI Permsta di Sumatera, Penerbang Amerika Serikat dan Taiwan memberi perlindungan payung udara kepada PRRI Permesta yang berada di Sulawesi Utara. Berkali-kali dan silih berganti, pesawat-pesawat pengebom berhasil memutus jalur transportasi laut. Ambon, Makassar dan Balikpapan di hujani bom, yang mengakibatkan korban terus bertambah.
Akan tetapi, segala upaya dan usaha Amerika ini mengalami kegagalan untuk memaksa Jakarta menyerah. Serangan demi serangan, dibalas pula dengan serangan dan gempuran yang lebih hebat. Jenderal Nasution terus mengerahkan dan menyiapkan prajurit-prajurit terbaiknya untuk mengambil alih dan menguasai satu demi satu yang dikuasai PRRI Permesta.  Akhirnya, pada hari Minggu, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) berhasil menembak jatuh sebuah pesawat pengebom dan menangkap hidup-hidup pilot bernama Allen Pope, seorang berkebangsaan Amerika Serikat. Hal ini tidak hanya membuat Amerika terkejut, tetapi juga dunia internasional. Ditambah lagi, Allen Pope mengaku, bahwa dirinya diperintahkan oleh CIA. Sungguh pada waktu itu, militer Indonesia sangat di kagumi oleh dunia internasional dan Amerika di kecam habis-habisan tiada henti.

Bagaikan tak memiliki perasaan bersalah, Amerika malah memelintir berita, mulai dari bantuan peralatan perang dan latihan militer, serta menyebarkan isue-isue tentang adanya ancaman komunisme terhadap stabilitas di belahan Asia Timur. Akhirnya, dengan tertangkapnya Allen Pope inilah, presiden Soekarno berhasil memelintir leher Amerika dan mempermainkannya presiden ke-34 Amerika.

BERSAMBUNG KE HALAMAN III

CIA Mengincar Soekarno III


HALAMAN I
HALAMAN II

Bagaikan tak memiliki perasaan bersalah, Amerika memelintir berita,mulai dari bantuan peralatan perang dan latihan militer, serta menyebarkan berita bohong tentang adanya ancaman komunis terhadap stabilitas di belahan Asia Timur. Akhirnya, dengan tertangkapnya Allen Pope inilah, presiden Soekarno berhasil memelintir leher Amerika dan mempermainkannya.

Bung Karno Dan Arif

Sudah sering dan kita ketahui bersama, bahwa cita-cita untuk mendirikan sebuah Republik Indonesia, telah ditebus dengan tumbal darah, airmata dan harta. Namun, berjuang dari balik sebuah kemudi taksi, juga patut kita hormati karena, seorang supir taksi telah turut serta dalam mengambil bagian untuk jalannya Revolusi sebuah negeri.

Soekarno Tahu Gerakan Soeharto


Untuk duduk sebagai seorang presiden sebuah negara mungkin tidaklah sulit, akan tetapi menjadi seorang pemimpin tidaklah semudah yang dibayangkan. Untuk dapat duduk disinggasana kepresidenan bisa didapat melalui dukungan kematangan dan taktik sebuah rencana dan strategi politik. Akan tetapi, untuk dapat menjadi seorang pemimpin sebuah negeri, hal yang paling dibutuhkan adalah kekuatan mental serta kesiapan lahir dan batin dalam menerima segala macam resiko serta kerelaan untuk berkorban waktu, tenaga, jiwa dan raga demi negeri, rakyat dan bangsa yang dipimpinnya secara ikhlas.

Kisah Antara Soekarno dan Onassis

Dalam kunjungan Presiden Soekarno pada Oktober 1964 ke Roma, secara mendadak dan tiba-tiba Soekarno di undang oleh Aristoteles Onassis, seorang miliader kapitalis untuk mampir ke kapal pribadinya yang mewah. Diatas kapal Christina tersebut mereka bertemu, meski sebelumnya, mereka tidak saling mengenal.
Siapa yang merencanakan dan mengatur hingga keduanya dapat bertemu, hal itu masih menjadi misteri hingga sekarang. Namun dari beberapa kabar yang beredar, dapat diambil kesimpulan bahwa, pihak-pihak yang mengatur pertemuan mereka adalah dari golongan seniman. Dikarenakan, selama kunjungan ke Roma tersebut, Ir. Soekarno selalu menyempatkan diri untuk menemui para seniman disana.